REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdalih membantu penanggulangan penyebaran wabah Corona atau Covid-19 di lembaga pemasyarakatan (Lapas) dengan membebaskan napi koruptor, justru menuai banyak kecaman. Salah satunya dari Ketua Presidium Ind Police Watch (IPW), Neta S Pane. Menurutnya, langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dianggap mencederai rasa keadilan publik.
"Dan membuat kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi makin absurd," keluh Ketua Presidium Ind Police Watch, Neta S Pane dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (4/4).
Seharusnya, kata Neta, jika ada koruptor yang terindikasi terkena wabah virus Corona, mereka tak perlu dibebaskan, tapi bisa dikarantina di Natuna atau di Pulau Galang, atau di Nusakambangan atau bahkan di Pulau Buru.
Bahkan, menurut penulusuran pihaknya, kecil kemungkinan para napi koruptor atau napi kakap lainnya terkena wabah Corona.
"Soalnya, dengan uang yang dimilikinya, selama ini mereka bisa "membeli" kamar. Sehingga satu kamar sel tahanan hanya dia sendiri yang menempati," ungkapnya.
Selain itu, kata Neta, napi koruptor selalu bisa memesan makanan khusus yang dibawa keluarganya dari luar dan mereka tidak pernah memakan makanan lapas. Mereka juga punya dokter pribadi dan mendapat perawatan kesehatan prima. Semua itu mereka dapatkan dengan uang yang dimilikinya.
Jadi, menurutnya, tidak ada alasan bagi Menkumham untuk membebaskan para napi korupsi, dengan alasan wabah virus Corona. "Lagi pula Menkumham belum pernah melakukan rapid test terhadap napi dan belum pernah mendata lapas mana saja yang terindikasi terkena wabah Covid 19," tutur
Justru, Neta menilai, kerawanan terhadap wabah virus Corona berpeluang terjadi di sel sel napi kelas teri. Sebab dalam satu sel, napi kelas teri ini bisa ditumpuk 10 hingga 15 orang, hingga sangat rawan wabah Corona berkembang luas.
Sementara makanan mereka setiap hari hanya seadanya. Jauh dari makanan bergizi karena terdiri dari nasi ala kadarnya dan kuah sayur.
"Blok sel napi kelas teri di banyak lapas dari dulu sengaja dijauhkan dari blok napi kelas kakap. Tujuannya agar napi kelas kakap tidak terusik ketenangannya," tambahnya.
Sehingga, lanjut Neta, kalau pun di blok napi kelas teri berkembang wabah Corona belum tentu menyebar ke blok napi kelas kakap. Apalagi napi korupsi yang punya lapas khusus di Sukamiskin, Bandung. Sebab itu, dia menganggap, wacana Menkumham untuk membebaskan napi korupsi adalah gagasan yang sangat tidak masuk akal dan gagasan gila.
Apalagi, kata dia, Menkumham mengatakan napi korupsi yang akan dibebaskan adalah napi yang berusia 60 tahun ke atas. Ini lebih tidak masuk akal lagi.
Sebab sebagian besar napi korupsi itu adalah para pejabat yang berusia 60 tahun ke atas. Mereka mendapatkan posisi jabatan di umur 50 tahun dan setelah itu mereka berkuasa, lalu korupsi.
"Masa Menkumham lupa dengan data napi korupsi? Kalau napi ABG atau di bawah 40 tahun biasanya terlibat kriminal jalanan alias menjadi napi kelas teri," kritik Neta.
Jadi, Neta menegaskan, sebaiknya Menkumham jangan berwacana membebaskan napi korupsi dengan alasan wabah Corona. Tapi, segera melakukan rapid test di seluruh lapas agar diketahui lapas mana saja yang terpapar Corona.
Selain itu, Neta meminta, untuk napi korupsi jangan bicara hati nurani dan rasa kebangsaan. Sebab, sambung Neta, ketika mereka asyik berkorupsi ria mereka juga tidak pernah bicara hati nurani rakyat dan rasa kebangsaan masyarakat. Akibat mereka korupsi, gedung sekolah ambruk dan jembatan ambruk hingga membuat rakyat menderita.
"Seharusnya para koruptor itu dihukum mati. Jadi, harusnya mereka masih bersyukur bisa hidup di lapas," tutup Neta.