Ahad 05 Apr 2020 15:17 WIB

Sabun Cuci Tangan, Haruskah Bersertifikat Halal?

Permintaan sabun cuci tangan meningkat seiring wabah virus corona.

Sabun Cuci Tangan, Haruskah Bersertifikat Halal?
Foto: sabun halal
Sabun Cuci Tangan, Haruskah Bersertifikat Halal?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini, kesadaran cuci tangan dengan sabun makin meningkat di kalangan masyarakat Indonesia dikarenakan infeksi virus corona. Karena itu, permintaan terhadap produk sabun cuci tangan semakin meningkat di pasaran sehingga mengakibatkan produk sabun cuci tangan sulit untuk diperoleh.

Hal tersebut juga makin diperkuat pula dengan anjuran pemerintah yang menegaskan bahwa cuci tangan pakai sabun lebih efektif dibanding menggunakan hand sanitizer.

Pertanyaannya apakah produk sejenis sabun cuci tangan harus disertifikasi halal?

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang efektif berlaku pada 17 Oktober 2019 berisi bahwa seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal. Produk-produk tersebut, menurut ketentuan Pasal 1 UU JPH adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Mengikuti ketentuan pasal tersebut, dapat kita simpulkan bahwa produk sejenis sabun cuci tangan wajib disertifikasi halal. Selain itu, produk sabun cuci tangan juga berkontak langsung dengan kulit tangan dan harus dipastikan dengan jelas bahwa komposisi sabun cuci tangan tersebut bukan turunan bahan yang haram dan najis.

Di zaman milenial ini, produk sabun cuci tangan dapat dibuat dengan skala UMKM. Berikut bahan baku dan bahan tambahan yang

biasa digunakan untuk membuat sabun cuci tangan dan kritis kehalalannya, antara lain:

1. Texapon Emal 270N

Senyawa ini merupakan sufaktan yang berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan sehingga sabun cuci tangan memiliki cleansing power yang kuat. Lalu, senyawa ini merupakan turunan lemak. Sehingga titik kritis kehalalannya adalah sumber lemak tersebut.

2. Asam Sitrat

Bahan ini berfungsi sebagai pengkelat mineral dan pengatur keasaman (pH). Asam sitrat dapat diperoleh melalui proses biotransformasi oleh mikroorganisme sehingga media pertumbuhan mikroorganisme yang menentukan status kehalalan asam sitrat ini. Media pertumbuhan mikroorganisme harus terbebas dari zat yang haram dan najis.

3. Gliserin

Fungsi dari senyawa ini adalah sebagai humektan yang dapat memberikan kesan lembut pada kulit. Gliserin dapat diperoleh melalui hidrolisis trigliserida (minyak/lemak) dengan enzim lipase atau secara proses sintetik kimiawi. Demikian, sumber gliserin dan sumber enzim yang digunakan saat proses produksi menjadi penentu status kehalalannya.

4. Parfum

Sudah pasti fungsinya sebagai pemberi aroma tertentu pada produk sabun cuci tangan dan memberikan sensasi harum di tangan. Namun, parfum terdiri dari beberapa puluh bahkan ratusan senyawa kimia sehingga perlu ditelusuri sumbernya satu per satu sampai diperoleh status kehalalan yang jelas. Bahkan untuk produksi parfum halal di industri, parfum harus dipisahkan fasilitas produksinya dengan produksi senyawa aroma babi maupun khamr. Selain itu, aplikasinya di industri, produk parfum yang berbeda kode pun bisa saja memiliki status kehalalan yang berbeda.

5. Pewarna

Bahan ini berguna untuk memberikan kesan ketampakan yang menarik di mata konsumen. Umumnya, pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis. Tetapi dengan perkembangan teknologi, pewarna juga dapat berstatus syubhat (meragukan) bila pada bahan pewarna tersebut ditambahkan bahan-bahan aditif seperti antioksidan, pengemulsi, penstabil, dan carrier solvent. Bahan-bahan aditif tersebut harus jelas kehalalan sumber dan proses produksinya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement