REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Keempat: Hukum karantina kesehatan, terutama pada saat epidemi
Karantina atau isolasi diri diperlukan ketika epidemi telah menyebar di sebuah negara atau di seantero dunia. Penetapannya berdasarkan pandangan para ahli, baik itu dokter maupun lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki otoritas. Semua orang berkewajiban menaati protokol yang dikeluarkan oleh otoritas resmi, terutama isolasi di tempat yang ditentukan oleh pihak berwenang di negara tersebut, untuk mencegah penyebaran epidemi.
Di antara dalil keagamaan yang menjadi landasan hukum:
Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari melalui Abdurrahman bin Auf bahwa Rasulullah saw. bersabda tentang wabah (thâ`ûn), “Jika Anda mendengar wabah penyakit menular (thâ’ûn) di sebuah tempat, jangan mendekatinya. Jika itu terjadi di sebuah tempat dan Anda sedang berada di situ, jangan keluar untuk menghindarinya”.
Secara eksplisit, dari hadis ini dapat dipetik kesimpulan bahwa jika epidemi terjadi di suatu wilayah, tidak boleh ada warga masyarakatnya yang keluar dari sana untuk menghindarinya. Sedangkan bila sedang berada di luar kawasan tidak diperkenankan masuk, agar penyakit tidak menular dari satu orang ke lainnya.
Makna ini dikonfirmasi oleh hadis lain yang disebutkan dalam Musnad Ahmad dari Abu Hurairah. Ia berkata, saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “menghindarlah dari penderita kusta seperti menghindar dari singa”.
Satu hal yang mencengangkan siapa pun yang meneliti ajaran Nabi dalam masalah penyakit menular bahwa beliau mencegah percampuran antara yang sakit dengan yang sehat sampai pun di kalangan hewan. Rasulullah memerintahkan untuk membuat semacam karantina kesehatan antara hewan yang sehat dengan yang sakit. Beliau bersabda, “Jangan campur (onta) yang sakit dengan yang sehat”.
Di antara kaidah hukum Islam bahwa hal-hal yang ditetapkan sebagai jalan menuju keselamatan saat ini dan menjadi alasan kesehatan di belakang hari, itu adalah wajib hukumnya menurut agama dan akal. Kami mengingatkan bahwa setiap orang yang menderita penyakit menular harus mengungkapkan penyakitnya, agar tidak membahayakan orang lain yang sehat dan menanggung dosa karena merugikan orang lain.
Kelima: Hukum melanggar keputusan ulul amri (pemerintah) untuk menutup masjid
Tujuan umum hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan orang banyak, baik di dunia maupun di akhirat. Selain itu, menurut para ulama, memelihara tatanan dunia dan mengendalikan perilaku masyarakat, agar tidak saling merusak dan mencelakakan, itu hanya bisa dilakukan dengan mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan.
Menghadiri shalat jumat dan shalat berjamaah adalah wujud syiar Islam yang nyata. Tetapi, mewujudkan kemaslahatan umum dan mencegah kemudaratan dari mereka adalah tujuan tertinggi dari diutusnya para rasul dan ajaran yang mereka bawa. Ini berarti kemaslahatan umum didahulukan atas pelaksanaan syiar agama tersebut.
Ketika shalat jumat yang hukumnya wajib, dan shalat berjamaah yang hukumnya sunnah, menurut pendapat yang kuat, dalam pelaksanaannya mendatangkan mudarat, maka kekhawatiran atas terjadinya bahaya harus didahulukan. Oleh karenanya, wajib hukumnya mencegah orang untuk berkumpul di masjid.
Jika pemerintah memutuskan, berdasarkan saran dan rekomendasi para ahli, bahaya kerumunan masa di satu tempat, apakah di masjid atau di tempat lain, dan bahwa kerumunan ini meningkatkan penyebaran virus, sehingga pemerintah mencegahnya. Maka semua orang harus mematuhi larangan tersebut dan menghentikan kerumunan masa, sampai pun itu untuk shalat Jumat dan shalat berjamaah, hingga larangan dicabut.
Tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk melanggar keputusan ini, apakah dengan mengumpulkan sedikit orang di dalam masjid setelah pintunya ditutup, kemudian mereka melakukan shalat Jumat atau jamaah di situ, atau shalat di depan masjid, atau di alun-alun terbuka, atau di rooftop atau atap bangunan.
Semua ini merupakan pelanggaran terhadap perintah dan hukum Allah serta bertentangan dengan syariah dan hukum-hukumnya yang menetapkan bahwa:
- Tidak boleh mendatangkan bahaya untuk diri sendiri dan juga yang membahayakan orang lain.
- Menghindari kemudaratan didahulukan daripada mewujudkan kemaslahatan.
Oleh karena itu, selama otoritas yang berkompeten telah mengeluarkan keputusan untuk sementara waktu menutup masjid, keputusan ini tidak boleh dilanggar, demi mencegah terjadinya kemudaratan yang timbul akibat pelanggaran.
Keenam: Apakah diperbolehkan untuk mempercepat zakat sebelum jatuh tempo, satu atau dua tahun, untuk mengantisipasi dampak penyebaran virus dan mewujudkan solidaritas antara warga masyarakat?
Islam mendukung prinsip solidaritas sosial dalam segala bentuknya. Jika dalam situasi normal saja Islam mendukungnya, apalagi pada masa krisis. Islam mewajibkannya di tengah krisis, bencana, keadaan darurat dan situasi genting di mana masyarakat sangat membutuhkan kerjasama dan solidaritas agar dapat melewati masa sulit dengan selamat.
Bentuk solidaritas yang paling menonjol adalah sedekah, zakat, merawat yang terkena dampak, janda-janda, orang-orang miskin, para pekerja yang terkena dampak penyebaran epidemi ini, serta bersama-sama memerangi orang-orang yang memonopoli barang dan jasa dan menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Dewan Ulama Senior juga menekankan wajib hukumnya membantu mereka yang membutuhkan, yaitu para pekerja kasar/buruh yang mengandalkan pekerjaan harian, dan orang-orang yang sangat memerlukan bantuan berupa bahan makanan pokok. Mereka mudah dikenali, terutama di kampung-kampung dan pedesaan. Akan sangat elok bila organisasi-organisasi kemasyarakatan memusatkan kegiatan mereka pada pelayanan seperti ini yang diperintahkan oleh agama, akal sehat dan marwah kemanusiaan di tengah sistuasi sekarang ini.
Demikian pula wajib hukumnya membantu para penderita penyakit kronis dan manula yang tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka, baik dari dana amal dan donasi, maupun dari dana zakat. Tidak ada perbedaan dalam hal peruntukan antara seorang Muslim atau non-Muslim selama ia membutuhkan, terutama dalam keadaan seperti saat ini.
Pendapat jumhur ulama membolehkan untuk mempercepat zakat (harta) dan membayarnya satu atau dua tahun sebelum tanggal jatuh tempo. Fatwa seperti ini sangat dibutuhkan. Di antara dalil kebolehannya adalah hadis riwayat Abu Dawud dan lainnya yang menyebutkan permohonan izin Al-Abbas bin Abdul Muthalib kepada Nabi untuk mempercepat zakatnya, yaitu mengeluarkan zakat sebelum waktunya. Rasul pun mengizinkan.
Oleh karena itu, kami yakin bahwa mempercepat pembayaran uang zakat dari sekarang sebelum waktunya, dengan mempertimbangkan kepentingan orang miskin dan yang membutuhkan, merupakan satu hal yang sangat dianjurkan di tengah merebaknya wabah Covid-19 akhir-akhir ini. Banyak dari mereka yang membutuhkan dan yang miskin terkena dampak. Memberi perhatian dan memenuhi kebutuhan mereka adalah tujuan tertinggi syariat agama. Adapun zakat fitrah, itu harus dibayar mulai dari hari pertama bulan Ramadhan dan berakhir pada hari terakhir bulan itu.
Kami memohon kepada Allah Swt agar melindungi Mesir dan rakyatnya serta mengangkat epidemi dan bencana dari seluruh umat manusia.
Dewan Ulama Senior Al-Azhar Al-Syarif telah mengeluarkan fatwa pertamanya pada 15 Maret 2020. Di mana mereka membolehkan penghentian shalat jumat dan jamaah agar wabah tidak menyebar untuk melindungi jiwa manusia, yang merupakan tujuan paling penting dari syariah.