Senin 06 Apr 2020 08:00 WIB

Menekan Defisit Neraca Perdagangan Saat Covid-19

Virus corona sebabkan defisit neraca perdagangan naik dan ini bahaya bagi ekonomi

Defisit APBN melebar: Defisit neraca perdagangan makin lebar akibat wabah virus corona
Foto: Republika
Defisit APBN melebar: Defisit neraca perdagangan makin lebar akibat wabah virus corona

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Firdaus, Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB

Dampak Ekonomi Covid-19

Berbagai kalangan baik di dalam maupun luar negeri sudah mengemukakan hasil kajian mengenai dampak pandemi Covid-19 terhadap perdagangan luar negeri Indonesia. 

Negara yang menjadi tujuan utama pasar ekspor kita, seperti China, AS, India, Singapore dll mengalami kontraksi ekonomi, berakibat pada kontraksi permintaan produk Indonesia yang selama ini diekspor, dan adanya penurunan kunjungan pariwisata secara signifikan. 

Pada saat yang sama, depresiasi rupiah yang secara awam difahami akan membawa keuntungan pada ekspor Indonesia, namun bila ditelaah secara lebih mendalam, ini akan terjadi manakala komponen impor dalam produksi di dalam negeri relatif rendah; yang tidak terpenuhi untuk kondisi beberapa industri manufaktur unggulan di luar makanan dan minuman, seperti industri otomatif bahkan tekstil dan produk tekstil. 

Pemerintah sudah merespons secara tepat misalnya dengan relaksasi impor, namun upaya yang berdampak jangka panjang perlu terus didorong.

Dampak pandemi Covid-19 pada perekonomian tidak jauh dari tiga persoalan ketidakseimbangan internal dan eksternal makroekonomi, yaitu: inflasi, pengangguran dan defisit neraca pembayaran (perdagangan). 

Untuk inflasi dan pengangguran, pemerintah harus mengimbangi instabilitas harga dengan menjaga harga yang dikendalikan (administered price) seperti bahan bakar, listrik dll; atau memberikan insentif fiskal sehingga dapat menekan penurunan aktivitas produksi dan distribusi. 

Ini disertai dengan pengendalian rantai pasok komoditas sedemikian rupa, misalnya meningkatkan pengawasan terhadap suplai dan keamanaan transportasi barang dari produsen sampai ke pasar. 

Untuk defisit neraca perdagangan, sekaligus sebagai respons terhadap depresiasi nilai tukar rupiah, upaya mendorong peningkatan ekspor merupakan jawaban. Tentu ini tidak mudah, terkait dengan kontraksi ekonomi global. 

Secara mendasar ini sejalan dengan model Swan-Salter-Corden untuk ekonomi negara berkembang data diadopsi, yaitu lebih mendorong industri yang berorientasi ekspor dan menyerap tenaga kerja. 

Sektor ekonomi yang berorientasi ekspor tentunya adalah yang memiliki daya saing, artinya dalam kondisi tanpa disubsidi oleh pemerintah, produk yang dihasilkan seharusnya menghasilkan penerimaan yang lebih besar dari biaya produksinya jika dijual ke pasar di dalam atau luar negeri. 

Nilai Tambah: Kunci untuk Mengatasi Defisit

Indonesia sudah sejak lama menjadi sumber pasokan komoditas penting global semisal bahan hasil tambang, produk perkebunan, rempah-rempah serta hortikultura tropis. 

Kebanyakan produk yang diekspor dalam keadaan mentah; sebagian setengah jadi dan hanya sedikit yang siap konsumsi.  

Ada banyak tantangan dalam mengekspor produk dalam keadaan seperti ini. Di sisi lain, banyak manfaat yang ditimbulkan dari adanya proses pencarian nilai tambah melalui pengolahan. 

Untuk konteks pasar ekspor, setidaknya ada tiga hal manfaat dari pengolahan produk selain penerimaan yang lebih tinggi untuk satuan berat yang sama. 

Pertama, pengolahan produk meningkatkan elastisitas permintaan. Untuk produk pertanian, bahan mentah lazimnya bersifat generik; sedangkan untuk nonpertanian, bahan mentah biasanya dibeli oleh konsumen industri skala besar (kontrak beli jangkanya lebih lama). 

Dengan sifat-sifat tersebut, maka permintaan terhadap produk bahan mentah lebih inelastis. Elastisitas yang lebih tinggi menyebakan produsen lebih leluasa menerapkan bauran pemasaran seperti diskon dan promosi penjualan.

Kedua, mengeskpor produk segar khususnya dari pertanian memerlukan syarat-syarat yang sering lebih ketat dibandingkan dengan mengirim produk turunannya. 

Beberapa contoh seperti registrasi kebun yang jelas; pemenuhan sanitary and phytosanitary yang lebih kompleks dan standar kualitas, mulai dari ukuran, bentuk, kandungan pestisida dll. 

Ini sering menjadi sebab penolakan oleh negara tujuan ekspor, bahkan alasan untuk belum boleh masuk seperti manggis ke Australia dan Selandia Baru. 

Tentunya sertifikasi untuk memenuhi regulasi dan standar tertentu di negara tujuan untuk produk olahan makanan dan minuman ada semisal HACCP, FDA dll.

Ketiga, penanganan ekspor produk mentah lebih sulit, sehingga biaya logistik lebih besar. Barang-barang yang sudah diolah lazimnya sudah dikemas dengan lebih baik, dengan ukuran yang tidak terlalu voluminous. 

Untuk produk segar seperti pertanian, teknologi yang diterapkan di Indonesia seringkali belum mampu menjamin barang-barang selama pengangkutan bebas dari kontaminasi bahan lain, kerusakan fisik yang dapat menurunkan kualitas produk. 

Menghadapi situasi dilema kontraksi ekonomi global dan keharusan mengendalikan defisit neraca perdagangan, maka salah satu strategi adalah bagaimana dengan ukuran pasar yang sama, kita dapat memperoleh nilai ekspor yang lebih tinggi. 

Tentunya ekspansi ke pasar baru juga langkah lain yang harus dilakukan. Ajaran Ansoff untuk mengkombinasikan produk dan pasar dalam strategi mendorong ekspor masih dapat dijalankan: pada pasar yang lama, harus dikembangkan produk baru atau untuk produk lama, harus dicarikan pasar yang baru. Dengan adanya pengolahan produk, maka manfaat ekonomi ekspor akan lebih besar. 

State of the Art dan Tantangan 

Upaya mengekspor produk olahan bukan segar sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN saja, untuk olahan dari produk pertanian, seperti Filipina dan Thailand, ekspor Indonesia masih jauh ketinggalan. 

Dari studi market intelligence yang pernah dilakukan oleh Tim IPB bersama Kementerian Pertanian di beberapa negara di Timur Tengah, Eropa, dan AS; di supermarket dan Asian store sebagian besar produk makanan olahan yang dikemas dengan baik diproduksi kedua negara tersebut. 

Olahan dari sayuran seperti rebung, nangka muda, paria dan toge dikirim dari Filipina dengan mencantumkan label halal. Untuk olahan dari buah-buahan, seperti rambutan, nangka, nenas banyak didatangkan dari Thailand. 

Produk olahan dari peternakan, perikanan termasuk rumput laut juga banyak disediakan oleh kedua negara tersebut. 

Dari Indonesia, selain didominasi produk perkebunan dan rempah-rempah, makanan olahan seperti kerupuk dan mi instan terlihat berjejer di beberapa tempat. Dari sisi jumlah produksi bahan baku; seperti rumput laut, kelapa, manggis dll, Indonesia mengalahkan kedua negara tersebut. 

Untuk produk nonpertanian, seperti bahan tambang sudah jamak diketahui bahwa Indonesia banyak menegekspor dalam bantuk barang mentah. 

Selama beberapa tahun terakhir cukup banyak kebijakan untuk mendorong ekspor dalam bentuk olahan; misal melalui pembatasan dengan kuota (domestic market obligation) atau dengan pengenaan tarif (bea keluar). 

Kebijakan ini bila tidak diikuti dengan investasi di dalam negeri tidak akan banyak artinya. Penanaman modal tersebut untuk membangun industri dengan tujuan untuk mengolah menjadi bahan setengah jadi, atau siap konsumsi lalu diekspor; atau industri lebih hilir lagi sehingga cabang dari pohon industri semakin banyak yang terisi. Sebagai contoh nikel, salah satu kekayaan utama Indonesia.

Produksi nikel terbesar ada di Indonesia, diikuti oleh Filipina dan Kaledonia Baru. Namun China, yang hanya memiliki produksi sekitar seperempat dari Indonesia, menjadi produsen nikel refinery terbesar di dunia, dengan volume tiga kali lipat lebih Indonesia. 

Kebijakan pemerintah untuk mendorong pengolahan di dalam negeri terus silih berganti. Pada tahun 2014 smapai 2016 ekspor dalam bentuk biji dilarang; namun direlaksasi pada tahun 2017. 

Di awal tahun 2020, kembali diberlakukan larangan ekspor biji nikel kembali; yang ternyata menjadi gugatan Uni Eropa di forum WTO. 

Lesson-learned dari pengembangan industri olahan untuk nikel misalnya: nikel memang merupakan bahan utama untuk membuat baja tahan karat (stainlesssteel) serta batere. 

Saat di Indonesia belum memiliki industri pengolahan produk ini, biji nikel banyak di ekspor ke China dan Jepang untuk diolah menjadi bahan baku sendok dan garpu tahan karat yang diimpor kembali setelah jadi ke Indonesia; atau batere untuk keperluan mobil listrik yang sedang marak di negara maju tempat pencinta lingkungan. 

Setelah ada penanaman modal dari China, dengan dibangunnya perusahaan pengoah di Sulawesi maka Indonesia menjadi negara pengekspor garpu dan sendok tahan karat ke dunia.  

Untuk pertanian, Javara Indigenous Indonesia misalnya, selama 8 tahun sejak 2012 sudah berhasil mengeskpor lebih dari dua ratus varians produk organik berstandar Eropa dan Jepang, dengan tujuan ke 21 negara. 

Produksi berasal datang dari 50 ribu lebih petani dari Aceh sampai Papua. Kemasan produk yang dgunakan berasal dari produksi anak-anak muda penggiat masyarakat yang memberdayakan ibu-ibu rumah tangga. 

Dalam hal ini bantuan dari pemerintah dapat dikatakan terbatas, yang membuktikan bahwa pengusaha kita sangat mampu untuk bersaing di kancah global. Replikasi usaha semacam ini tentu patut menjadi program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ke depan. Tentu dalam suasana pandemi Covid-19 ini tidak mudah, minimal untuk mempertahankan yang ada. 

Banyak produk lain yang harus ditelaah secara mendalam dan didorong industri pengolahannya. Di sisi lain, tentu saja banyak negara mengimpor produk mentah dari Indonesia bukan hanya untuk mengambil satu manfaat saja. 

Sebagai contoh, eskpor pertanian bukan hanya dikonsumsi sebagai makanan, namun mencari keunggulan lain yang nilainya lebih tinggi. 

Manggis selain dapat diesktrak kulitnya menjadi obat karena mengandung xanthone; bijinya juga dapat menjadi sumber bibit untuk ditanam di negaranya. Inilah tantangan bagi bangsa ini, terus mencari inovasi sehingga menjadi besar di kemudian hari. 

Triple helix: pemerintah, industri dan perguruan tinggi serta NGO dan CSO harus bekerjasama lebih erat menghadapi pandemi Covid-19 ini.

BACA JUGA: Stimulus Ekonomi Wabah Corona: Rupiah Versus Dolar AS

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement