REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah memprediksi, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 tahun ini dapat mencapai Rp 853,07 triliun atau 5,07 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini naik 117 persen atau Rp 545,7 triliun dibandingkan prediksi pemerintah sebelumnya, yakni Rp 307,3 triliun (1,76 persen terhadap PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kenaikan defisit menyebabkan peningkatan dalam pembiayaan dengan besaran yang sama. "Sebesar Rp 654,5 triliun untuk pembiayaan utang dan pembiayaan non utang Rp 108,9 triliun," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR melalui teleconference, Senin (6/4).
Pelebaran defisit dikarenakan adanya pendapatan negara diprediksi menurun dari Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760,9 triliun atau hilang Rp 472,3 triliun. Kompensasi dari serangkaian stimulus pajak yang diberikan pemerintah untuk mengurangi tekanan akibat dampak Covid-19 menjadi faktor penyebab penurunan ini.
Di sisi lain, belanja pemerintah pusat akan ada kenaikan Rp 73,4 triliun untuk mengantisipasi dampak pandemi. Khususnya di sektor kesehatan, perlindungan sosial masyarakat dan melindungi dunia usaha. Dalam Undang-Undang APBN 2020, pemerintah menargetkan belanja Rp 2.540,4 triliun yang naik menjadi Rp 2.613,8 triliun.
Sri menjelaskan, penambahan pembiayaan akan terlebih dahulu memanfaatkan potensi dari berbagai sumber yang paling aman. Termasuk di antaranya, Saldo Anggaran Lebih (SAL), hingga mempertimbangkan penggunaan seluruh dana abadi pemerintah dan dana yang dikelola Badan Layanan Umum (BLU).
Tapi, Sri mengakui, sumber tersebut tidak akan memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik maupun global. "Meskipun sekarang kondisinya sangat volatile, kami terus berikhtiar mencai kesempatan terbaik untuk bisa dapatkan biaya atau harga terbaik bagi SBN kita," katanya.
Penerbitan SBN tersebut termasuk Pandemic Bond yang akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI) di pasar primer. Saat ini, Kemenkeu bersama BI sedang memproses agar mekanisme pembelian SBN tetap prudent dan sharing risk maupun cost yang bertanggung jawab.
Sri memastikan, pihaknya akan transparan kepada DPR, Badan Pemeriksa Keuangan maupun pihak manapun di pasar agar pembiayaan tetap kredibel dari kebijakan moneter maupun fiskal.
Opsi pembiayaan lain yang juga disebutkan Sri adalah penarikan pinjaman, baik dari lembaga multilateral maupun bilateral seperti Asian Development Bank (ADB) atau World Bank (WB). "Sebab, mereka punya line of credit dengan tingkat harga jauh lebih baik mengingat mereka tidak bergerak sesuai dengan situasi pasar," ujarnya.