REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para istri Nabi Muhammad SAW merupakan perempuan-perempuan yang mulia. Kalangan sejarawan menjuluki mereka ummahatul mukminin atau 'bundanya orang-orang beriman.'
Di antara para istri Rasul SAW ialah Aisyah. Ia merupakan putri Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat yang menemani Nabi SAW kala hijrah dari Makkah ke Madinah.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai istri Rasul SAW, Aisyah mengalami suka-duka. Kedukaannya yang terekam sejarah ialah ketika dirinya diterpa fitnah.
Kisah ini dituturkan sendiri oleh Aisyah, seperti diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Muslim sebagai berikut. Riwayat itu juga berkaitan dengan sebab turunnya surah an-Nuur ayat 11, sebagaimana dirangkum Jalaluddin al-Suyuthi dalam Luqaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul.
"Apabila Rasulullah hendak mengadakan perjalanan," tutur Aisyah, "maka beliau (Rasul SAW) biasanya mengundi di antara para istrinya. Siapa yang namanya keluar, maka dialah yang ikut bersama beliau.
Dalam suatu peperangan, beliau mengundi kami. Karena nama saya yang keluar, saya pun ikut pergi bersama beliau. Peristiwa ini terjadi setelah turun wahyu yang mewajibkan hijab.
Di sepanjang perjalanan itu, saya pun diangkut di atas tandu dan tetap tinggal di dalamnya.
Ketika Rasulullah selesai dari peperangan, maka kami sedang dalam perjalanan pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah.
Pada suatu malam beliau mengumumkan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengumumkan keberangkatan, saya sedang pergi untuk menyelesaikan hajat.
Setelah saya menyelesaikan hajat, saya pun hendak kembali ke tandu saya. Namun, saya menyadari, kalung saya yang buatan Azhfaar telah putus dan hilang. Maka saya pun kembali ke tempat semula (tempat buang hajat) untuk mencari benda itu.
Saya masih mencari kalung itu di sana, sedangkan orang-orang yang mengangkut tandu saya sudah datang. Mereka pun mengangkat tandu itu ke atas unta. Mereka mengira, saya berada di dalam tandu itu.
Memang, umumnya perempuan pada masa itu tubuhnya ringan. Mereka hanya makan sesuap (sehingga jarang berbobot tubuh berat). Oleh karena itu, para pengangkut tandu itu tidak merasa heran dengan ringannya tandu ketika mereka mengangkatnya.
Mereka tuntun unta dengan tandu tersebut lalu berangkat. Sementara itu, saya baru menemukan kalung saya setelah pasukan itu pergi.
Ketika saya tiba di tempat peristirahatan mereka tadi, tidak seorang pun kelihatan. Akhirnya, saya menuju tempat istirahat saya semula. Saya pikir, mereka akan menyadari, saya tidak bersama mereka sehingga mereka akan kembali untuk mencari saya. Ketika saya duduk di tempat saya, saya merasa mengantuk sehingga tertidur.
Ketika itulah, Shafwan ibnul-Mu’aththal as-Sulami berjalan di belakang pasukan. Pagi hari itu, ia sampai di tempat saya.
Ia melihat seseorang sedang tertidur. Segera ia mengenaliku begitu melihat saya.
Dia memang pernah melihat wajah saya sebelum diwajibkannya hijab. Saya terbangun mendengar suaranya yang mengucapkan, 'Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun!'
Saya pun buru-buru menutupi wajah dengan jilbab. Demi Allah, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada saya. Saya tidak mendengar sepatah kalimat pun keluar dari mulutnya selain ucapan innalillahi tadi.
Ia hanya menundukkan untanya, menginjak kakinya, lalu saya pun menaikinya. Kemudian, dia berangkat menuntun unta itu sampai kami tiba di pasukan yang sedang berhenti untuk beristirahat di siang hari yang terik.