REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia mengecam sejumlah kebijakan sepihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam menjalankan perannya menanggulangi pandemi corona. Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menegaskan, agar Polri, maupun pemerintah, merevisi atau bahkan menghapus aturan-aturan penanganan wabah Covid-19 yang mengancam hak dan kebebasan sipil.
Usman mengkritisi terutama terkait Surat Telegram Kapolri tentang pedoman pelaksanaan tugas dan fungsi reserse kriminal (Reskrim) nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020. Beberapa isinya mengatur tentang pelaksanaan hukuman pidana terkait tentang penyebaran informasi yang dianggap bohong di ruang siber, ataupun online. Bahkan, menebalkan tentang penanganan pidana penjara terkait penghinaan terhadap Presiden, dan pejabat pemerintahan selama penanganan wabah Korona.
Anggota Polri, berdasarkan telegram itu, harus berpedoman terhadap Pasal 14, dan 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Aturan itu menyatakan, penjara satu sampai tiga tahun dalam penerapan Pasal 207 KUH Pidana yang mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan juga penguasa negara. Telegram itu meminta kepolisian mengacu pada pedoman Pasa 45 A ayat (1), Pasal 28 ayat (1) UU 11 /2008 Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Serta Pasal 96 UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan.
“Aturan (telegram) tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan Polri dan penegak hukum untuk bersikap represif terhadap masyarakat,” kata Usman dalam siaran pers yang diterima, Senin (6/4).
Usman menegaskan, semestinya Polri menjadi pelindung dan pengayom bagi masyarakat. Apalagi di tengah pandemi global yang mematikan sekarang ini. Alih-alih melindungi dan memberikan rasa aman, Usman melihat, telegram tersebut mengancam hak masyarakat dalam menyatakan pendapat.
“Atas nama penghinaan terhadap Presiden dan pejabat negara, telegram itu berpotensi melanggar kemerdekaan berpendapat. Amnesty mendesak pihak kepolisian dan yang berwenang menarik (membatalkan) telegram tersebut,” tegas Usman.
Ia menambahkan, selain mengancam kebebasan berpendapat, telegram yang terbit pada Sabtu (4/4) itu, pun tak konsisten dengan keputusan pemerintah.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini, menyetujui langkah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk membebaskan 30 ribu tahanan dan narapidana dari penjara maupun lapas. Pembebasan tersebut, dianggap tepat sebagai upaya pemerintah menekan angka penyebaran paparan infeksi Covid-19 di penjara maupun dalam lapas yang sesak dan melebihi kapasitas.
Akan tetapi, di lain sisi, menurut Usman telegram Polri, malah mengancam akan memidanakan penjara masyrakat yang dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden dan pejabat negara.
“Pelaksaan telegram itu akan membuat banyak orang yang semula berniat memberikan pendapat, ataupun kritik, justru takut untuk bersuara karena diancam hukuman,” terang Usman.
Menurut dia, Polri, maupun pemerintah semestinya menjadikan respons warga sebagai kritik dan saran dalam penanganan wabah Korona. “Tanpa saran dan kritik, pemerintah tentunya akan semakin kesulitan untuk mengetahui apa yang perlu diperbaiki dalam penanganan wabah,” kata Usman.
Amnesty menegaskan, Indonesia terikat dengan Pasal 19 Konvenan Internasional tentag Hak-hak Sipil dan Politik Internasional (ICC-PR). Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, pun telah menghapuskan delik penghinaan terhadap Presiden dan penguasa negara dalam Pasal 207 KUH Pidana karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.