Selasa 07 Apr 2020 07:52 WIB

Sejarah Hari Ini: Genosida dalam Konflik Etnis di Rwanda

Konflik etnis Tutsi dan Hutu di Rwanda menjadi genosida yang membunuh 500 ribu orang.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Genosida 1994 di Rwanda.
Genosida 1994 di Rwanda.

REPUBLIKA.CO.ID, KIGALI -- Pada 7 April 1994 silam, pembantaian sekitar 500 ribu hingga satu  juta warga etnis Tutsi dan Hutu moderat dimulai hingga 100 hari lamanya. Di Rwanda sejarah kelam genosida itu tercatat dalam konflik antar-etnis.

Etnis Hutu dan Tutsi di Rwanda terus bergejolak sejak kemerdekaan dari Belgia dan dibubarkannya pemerintahan monarki yang dipimpin raja dari Tutsi. Pada 7 April 1994, gejolak itu memuncak dalam genosida.

Baca Juga

Ekstremis Hutu yang merupakan etnis mayortias di negara tersebut membantai Tutsi dan Hutu moderat. Etnis Tutsi yang berjumlah minoritas menjadi sasaran dan target kekerasan.

Sekitar 85 persen dari penduduk Rwanda adalah etnis Hutu dan sisanya Tutsi beserta kelompok etnis yang lebih kecil lainnya. Meski minoritas, Tutsi telah lama dikenal banyak menduduki sektor-sektor kepemimpinan dan pemerintahan.

Dilansir History, akar langsung dari genosida 1994 berawal dari awal 1990-an, ketika Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, seorang Hutu mulai menggunakan retorika anti-Tutsi untuk mengkonsolidasi kekuasaannya di antara orang-orang Hutu. Awal Oktober 1990 pun sudah ada pembantaian terhadap Tutsi.

Meskipun kedua kelompok etnis itu sangat mirip dalam berbagi bahasa dan budaya yang sama selama berabad-abad, undang-undang mengharuskan pendaftaran berdasarkan etnis. Pemerintah dan tentara Rwanda mulai mengumpulkan Interahamwe (yang berarti mereka yang menyerang bersama) dan bersiap untuk melenyapkan Tutsi dengan mempersenjatai Hutu dengan senjata dan parang. Pada Januari 1994, pasukan penjaga perdamaian PBB di Rwanda memperingatkan bahwa pembantaian besar akan segera terjadi.

Pada hari sebelum pembataian dimulai, Presiden Habyarimana tewas saat pesawatnya ditembak jatuh. Hal itu menambah api kepada ektremis Hutu kepada Tutsi, sebab mereka meengira pesawat ditembak oleh organisasi militer Tutsi atau Front Patriotik Rwanda (RPF).

Para ekstremis Hutu di militer yang dipimpin oleh Kolonel Theoneste Bagosora, segera beraksi membunuh orang Tutsi dan Hutu moderat dalam beberapa jam setelah kecelakaan itu. Pada hari berikutinya pasukan penjaga perdamaian Belgia tewas sehingga PBB menarik pasukan dari Rwanda.

Setelah itu, stasiun radio di Rwanda menyiarkan propoganda kebencian untuk membunuh semua Tutsi di negara itu. Tentara dan polisi nasional mengarahkan pembantaian dan mengancam warga sipil Hutu. Ribuan Tutsi disiksa sampai mati dengan parang oleh tetangga mereka sendiri dan bahkan beberapa suami membunuh istri mereka yang Tutsi karena para milisi mengancam membunuh jika mereka menolak.

Terlepas dari kejahatan yang mengerikan, komunitas internasional termasuk Amerika Serikat ragu untuk mengambil tindakan apa pun. Mereka secara keliru menganggap genosida sebagai kekacauan di tengah perang suku. Presiden Bill Clinton kemudian menyebut kegagalan Amerika untuk melakukan apa pun untuk menghentikan genosida sebagai penyesalan terbesar dari pemerintahannya.

Hal itu diserahkan kepada RPF, dipimpin oleh Paul Kagame untuk memulai kampanye militer yang akhirnya berhasil untuk mengendalikan Rwanda. Pada musim panas, RPF telah mengalahkan pasukan Hutu dan mengusir mereka keluar dari negara itu dan masuk ke beberapa negara tetangga. Namun, pada saat itu, diperkirakan 75 persen Tutsi yang tinggal di Rwanda telah dibunuh.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement