REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengutuk dua ilmuwan Prancis yang menyarankan Afrika sebagai tempat uji coba vaksin virus corona. Menurutnya, uji coba vaksin harus mengikuti aturan dan protokol yang berlaku.
"Afrika tidak dapat dan tidak akan menjadi tempat uji coba untuk vaksin apa pun. Kami akan menggunakan aturan dan protokol yang persis sama. Apakah itu di Eropa, Afrika, atau di mana pun, kami akan menggunakan protokol yang sama," ujar Ghebreyesus, dilansir Anadolu Agency, Selasa (7/4).
Komentar kedua dokter asal Prancis dalam debat televisi telah memicu kemarahan. Mereka dituding menanggap warga Afrika sebagai "kelinci percobaan". Salah satu dari kedua dokter tersebut telah meminta maaf atas pernyataannya.
Dalam sebuah konferensi pers melalui streaming video, Ghebreyesus tampak marah dengan pernyataan dari dua ilmuwan Prancis tersebut. Menurutnya, kedua ilmuwan itu masih memiliki mentalitas kolonial.
"Mentalitas kolonial harus dihentikan. WHO tidak akan membiarkan ini (uji coba vaksin di Afrika) terjadi," kata Ghebreyesus.
Dalam acara debat di saluran televisi Prancis LCI, Kepala Divisi Riset di kelompok riset kesehatan Inserm, Camille Locht berbicara tentang uji coba vaksin corona di Eropa dan Australia. Acara debat tersebut juga dihadiri oleh Kepala Unit Perawatan Intensif di rumah sakit Cochin, Jean-Paul Mira. Dalam kesempatan itu, Mira menyarankan agar uji coba vaksin corona dilakukan di Afrika.
"Jika saya boleh jadi provokatif, bukankah sebaiknya kita melakukan studi ini di Afrika, tempat tidak ada masker, tidak ada perawatan, tidak ada resusitasi? Hal seperti itu telah dilakukan di tempat lain untuk beberapa studi tentang AIDS. (Misalnya) di komunitas PSK, kita mencoba berbagai hal karena kita tahu mereka sangat terpapar dan tidak bisa melindungi diri mereka sendiri," ujar Mira, dilansir BBC.
Locht kemudian mengangguk setuju pada pernyataan Mira, dan mengatakan, "Anda benar. Kami sedang dalam proses untuk mempertimbangkan penelitian paralel di Afrika," katanya.