REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Pesawat ruang angkasa Cassini milik Badan Antariksa Amerika Serikat (AS) atau NASA telah mengakhiri perjalanan selama dua dekade. Pada 15 September 2017, pesawat ini terjun ke atmosfer Saturnus dan hancur menjadi kehampaan.
Sebelum Cassini mengakhiri perjalanan dua dekade di luar angkasa, sejumlah misi telah berhasil dilakukan. Diantaranya adalah melakukan 22 orbit dekat selama lima bulan, hingga memasuki ruang antara Saturnus dan cincin planet itu.
Dijuluki sebagai Grand Finale Cassini, tur terakhir Saturnus ini mengungkapkan detail yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang atmosfer planet, medan magnet, cincin ikonik, dan awan buram. Hingga kemudian saat ini, atau hampir tiga tahun setelahnya, harta karun dari data ini telah memecahkan misteri lain tentang planet tersebut dan iklimnya yang aneh.
Dalam sebuah studi terbaru yang diterbitkan di jurnal Nature Astronomy, tim ilmuwan menggunakan data ari Grand Finale Cassini untuk membuat peta suhu Saturnus. Dari sana, temuan menyarankan resolusi untuk ENERGI KRISIS planet ini.
Tidak seperti di Bumi, 'krisis energi' Saturnus tidak ada hubungannya dengan pasokan sumber daya alam yang terbatas. Sebaliknya, krisis di Saturnus mengacu pada suhu panas yang tak dapat dijelaskan di atmosfer atas planet ini.
Di masa lalu, para ilmuwan telah mengamati suhu panas yang aneh di atmosfer atas Saturnus, dua kali lebih panas dari seharusnya. Data baru mendukung hipotesis lama bahwa aurora yang ada di planet itu mungkin bertanggung jawab untuk mengendalikan suhu ekstrem ini.
Pada akhirnya, temuan ini dapat membantu para ilmuwan dalam pencarian mereka untuk menemukan tanda-tanda kelayakhunian di planet ekstrasurya (eksoplanet). - Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah mencoba memahami mengapa atmosfer atas Saturnus, yang dikenal sebagai termosfer planet ini, jauh lebih panas dari seharusnya.
Termosfer bumi dipanaskan oleh Matahari. Tetapi, semakin jauh dari Matahari di Tata Surya, semakin sedikit intensitas radiasi bintang. Ini berarti benda lebih jauh di Tata Surya menerima lebih sedikit panas dari bintang.
Saturnus adalah planet keenam dari Matahari. Jaraknya sekitar 10 kali lebih jauh dari Matahari dibanding Bumi. Berdasarkan ini, suhu atmosfer bagian atasnya harus sekitar 150-200 Kelvin, atau antara -190 dan -100 derajat Fahrenheit.
Sebaliknya, suhu atmosfer atas Saturnus adalah antara 350-600 Kelvin, menurut penelitian. Itu setara dengan 170 hingga 620 derajat Fahrenheit yang mendidih secara positif.
"Ketika saya memplot semua suhu dari kutub ke kutub, saya bisa melihat bahwa suhu dan wilayah kutub tidak melakukan apa yang diprediksi semua model," Zarah Brown, seorang peneliti atmosfer planet di Lunar and Planetary Laboratory Universitas Arizona, sekaligus penulis utama studi baru ini, dilansir Inverse, Selasa (7/4).
Hasil penelitian mengungkap bahwa atmosfer atas Saturnus berada pada titik terpanas di kutub planet ini, di mana terdapat aurora. Seperti di Bumi, aurora terjadi ketika Matahari memancarkan partikel bermuatan dalam bentuk angin matahari, atom oksigen dan nitrogen di atmosfer atas Saturnus yang terionisasi.
Aurora yang dihasilkan oleh angin matahari yang terhubung menghubungkan termosfer Saturnus ke magnetosfernya, gelembung pelindung medan magnet yang mengelilingi planet-planet. Proses ini menghasilkan arus listrik yang pada gilirannya memanaskan termosfer planet.
Pemanasan ekstrem adalah akibat langsung dari angin matahari yang berinteraksi dengan partikel-partikel yang dipancarkan oleh bulan dan cincin Saturnus. Brown mengatakan panas berasal dari proses-proses terkait dengan aurora.
“Data mendukung itu dengan fakta bahwa ada semacam cincin suhu tinggi ini tepat di dekat daerah auroral, yang menunjukkan bahwa di sana panas tersimpan,” jelas Brown.
Planet-planet raksasa lain di Tata Surya seperti Jupiter dan Uranus juga mengalami pemanasan yang tak dapat dijelaskan di atmosfer atas. Brown mengatakan ini meskipun apakah proses auroral yang sama mendorong suhu aneh mereka tidak dapat disimpulkan dari data ini.
"Tidak ada planet raksasa lain yang diteliti dalam detail seperti ini, ini benar-benar titik awal yang bagus," kata Brown.
Cassini diluncurkan pada 15 Oktober 1997 dan memasuki orbit Saturnus pada 30 Juni 2004. Satelit awalnya dijadwalkan untuk misi empat tahun, yang kemudian diperpanjang dua kali.
Selama misi 20 tahun, pesawat ruang angkasa itu melakukan hampir 300 orbit Saturnus, mengambil lebih dari 453.000 gambar, dan mengirim kembali 635 gigabita data. Pada April 2017, Cassini memulai tur terakhirnya di planet raksasa, menyelam lebih jauh ke dalam celah selebar sekitar 1.200 mil antara Saturnus dan cincinnya pada jarak sekitar 1.000 hingga 2.500 mil di atas awan planet.
Tim di belakang misi tersebut mengaku tidak yakin apakah pesawat ruang angkasa dapat bertahan dari pertemuan dekat dengan Saturnus. Termasuk tentang apakah beberapa bahan dari cincin planet pada akhirnya akan menghancurkan Cassini.