Selasa 07 Apr 2020 13:09 WIB

Jejak Kolonialisme Covid-19

Mentalitas kolonial dikhawatirkan muncul kembali pada masa Covid-19.

Red: Fitriyan Zamzami
Warga menunggu antrean untuk hibah sosial dan membeli makanan dari pusat perbelanjaan selama hari kelima dari karantina nasional 21 hari di Khayelitsha, Cape Town, Afrika Selatan, Selasa (31/3). Petugas kesehatan dan polisi memiliki tugas yang sulit mendidik dan menegakkan jarak sosial di Khayelitsha
Foto: EPA-EFE/NIC BOTHMA
Warga menunggu antrean untuk hibah sosial dan membeli makanan dari pusat perbelanjaan selama hari kelima dari karantina nasional 21 hari di Khayelitsha, Cape Town, Afrika Selatan, Selasa (31/3). Petugas kesehatan dan polisi memiliki tugas yang sulit mendidik dan menegakkan jarak sosial di Khayelitsha

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Fitriyan Zamzami

JAKARTA -- Katakanlah ia kebetulan semata. Bagaimanapun, jika kebetulan itu terus berulang wajarlah orang-orang bertanya-tanya.

Pada 2 Maret lalu, Presiden Joko Widodo mengumumkan soal pasien-pasien perdana Covid-19 di Indonesia. Ia menuturkan, dua di antaranya terjangkit sehubungan dengan kontak dengan seorang warga negara asing yang datang sebelumnya. Belakangan diketahui, penular perdana tersebut merupakan warga negara Jepang yang bertemu dengan salah seorang pasien perdana di klub dansa.

Beberapa hari kemudian, pada 11 Maret, pemerintah mengumumkan kematian perdana akibat Covic-19 di Indonesia. Pasien bersangkutan adalah warga negara Inggris berusia 53 tahun. Perempuan tersebut meninggal saat di rawat di rumah sakit di Bali.

Belakangan ada juga kabar mengejutkan yang dilansir pada 20 Maret oleh Eindhovens Dagblad salah satu media tertua di Belanda. Media itu mengutip pengakuan seorang WN Belanda yang menyatakan sempat dirawat di Indonesia dan kemudian didiagnosa positif Covid-19 saat kembali dirawat di Belanda. Banyak pihak menyangkal hal itu, namun jika klaim pria tersebut benar, maka ia bisa jadi pasien Covid-19 pertama di Indonesia.

Nah, ada kesamaan dari negara asal para WNA yang mengawali catatan-catatan penularan Covid-19 di Indonesia tersebut. Jepang, Belanda, dan Inggris, seluruhnya pernah berkuasa di sebagian wilayah Indonesia. Jepang menjelang akhir Perang Dunia II, Inggris pada masa sepanjang 1811 hingga pertengahan 1820-an, kemudian Belanda pada sebagian besar abad ke-19 dan awal hingga pertengahan abad ke-20.

Kebetulan? Bisa jadi. Tetapi pola serupa ternyata terjadi juga di beberapa negara lain. Reuters melansir, kasus Covid-19 pertama yang terdeteksi di Senegal dibawa seorang warga negara Prancis, negara yang mulai menancapkan kekuasaan di sana sejak abad ke-17.

 
photo
Seorang perempuan menunggu pemeriksaan di luar fasilitas kesehatan di Migowi, Malawi, beberapa waktu lalu. - (AP)

Kasus pertama di Gambia, dibawa seorang pelancong dari Inggris, negara yang menguasai Gambia sejak abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Angola mendapatkan kasus pertamanya dari Portugis yang menjajah negara itu sejak abad ke-16; Suriname mendapat kasus pertama dari Belanda yang datang ke wilayah itu sejak abad ke-17 dan berkuasa hingga 1970-an. Haiti juga mendapat penularan pertamanya dari kunjungan ke Prancis yang berkuasa di kepulauan itu pada abad ke-17 hingga abad ke-19.

“Warisan kolonial memang hidup dalam pergerakan viral ini. Saya tak terkejut bahwa kasus pertama di Republik Kongo juga berasal dari Belgia,” ujar Dr Adia Benton, seorang antropologis di Northwestern University, Illinois seperti dilansir the Intercept. Belgia terkenal dengan era kekuasaan brutalnya di Kongo pada 1908-1960.

photo
Tentara Italia mengenakan pakaian pelindung mengangkut peti mati ke truk-truk militer dari Bergamo ke pemakaman Cinisello Balsamo, Milan, Italia, Jumat (27/3). - (EPA-EFE/Andrea Fasani)

Sebagian akademisi menilai, kaitan tersebut sedianya hanya soal statistik. Bukan rahasia, bahwa negara-negara kolonialis dan imperialis masa lalu saat ini adalah pemuncak jumlah penularan Covid-19. Dari urutan teratas kasus, ada AS, Spanyol, Italia, Jerman, Prancis, Cina, Iran, Inggris, Turki, Belgia, Belanda, Austria, Brazil, Portugis. 

Kemudian, tak seperti Cina, justru negara-negara Eropa yang terlambat menutup batas wilayah sehingga memungkinkan persebaran lebih luas ke segara penjuru dunia. Dr François Dabis, direktur Badan Penelitian AIDS dan Hepatitis di Bordeaux, Prancis menilai, ada mentalitas kolonialis bekerja dalam keterlambatan antisipasi yang membuat Covid-19 demikian menggejala di Eropa Barat. “Kami melihat reaksi negara-negara Asia. Tapi saat itu kami pikir tak perlu dicontoh karena kami sangka epidemi itu tak akan sama efeknya di Eropa,” kata dia dilansir the Intercept.

Mentalitas kolonialis, bahkan rasialis sebagian pihak di Eropa tersebut juga tergambar dari saran sejumlah dokter di Prancis agar Afrika dijadikan lahan uji coba vaksin Covid-19. “Seharusnya kita melakukan studi ini di Afrika, tempat tak ada masker, tak ada perawatan yang layak, seperti saat AIDS merebak dulu,” kata Jean-Paul Mira seorang pejabat RS terkemuka di Paris dalam wawancara televisi pekan lalu.

Komentar itu memantik kemarahan banyak pihak di Afrika. Bintang sepak bola Didier Drogba dan Samuel Eto’o yang berasal dari Afrika di antara yang meradang atas komentar yang mereka sebut “rasis” tersebut.

 
photo
Petugas kesehatan menyemprotkan disinfektan di pasar informal, Lagos, Nigeria, Selasa (31/3). Lagos menghadapi karantina dua minggu dengan penduduk disuruh tinggal di rumah mereka - (AP/Sunday Alamba)

Demikian juga dengan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus. “Afrika tak akan dan tak boleh jadi ladang uji coba untuk vaksin apapun. Kita harus menggunakan aturan pengujian vaksin yang sama di manapun, di Eropa, Afrika, di manapun,” kata Tedros melalui konferensi pers di Jenewa, Senin (6/3).

Katakanlah kaitan kolonialisme dengan Covid-19 adalah kebetulan semata. Namun, seperti dikatakan Tedros, tinggalan mentalitas dari periode tersebut sangat bahaya jika masih dipraktikkan pada masa-masa seperti sekarang. “Sisa-sisa mentalitas kolonial ini harus berhenti. Protokol yang layak harus dipatuhi dan manusia harus diperlakukan selayaknya manusia, secara setara,” kata dia. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement