Rabu 08 Apr 2020 06:56 WIB

Turki Berencana Bebaskan Tahanan untuk Hambat Covid-19

Parlemen Turki berencana bebaskan tahanan demi menghambat penyebarluasan Covid-19.

Kementerian Kehakiman Turki mengumumkan pembuatan masker sekali pakai oleh narapidana di enam penjara. Ilustrasi. Parlemen Turki berencana bebaskan tahanan demi menghambat penyebarluasan Covid-19.
Foto: Ritchie B. Tongo/EPA
Kementerian Kehakiman Turki mengumumkan pembuatan masker sekali pakai oleh narapidana di enam penjara. Ilustrasi. Parlemen Turki berencana bebaskan tahanan demi menghambat penyebarluasan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Parlemen Turki, Selasa (7/4), membahas undang-undang pembebasan tahanan yang bertujuan mengurangi kepadatan di penjara dan melindungi para tahanan dari kemungkinan infeksi virus corona tipe baru. Rencana itu dikecam para kritikus karena mengecualikan orang yang dipenjara atas tuduhan terorisme dalam tindakan keras pascakudeta.

RUU yang diajukan oleh Partai AK yang mengusung Presiden Tayyip Erdogan untuk sementara waktu akan membebaskan sekitar 45 ribu tahanan guna mengatasi ancaman penyebaran virus corona di penjara. Jumlah yang sama akan dirilis secara permanen lewat rencana yang disiapkan tahun lalu untuk mengurangi kepadatan penjara.

Baca Juga

Langkah itu akan mengurangi sepertiga populasi penjara. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak mencakup narapidana yang dihukum karena tuduhan terorisme atau mengecualikan ribuan terpidana yang ditangkap dalam pembersihan setelah gagalnya kudeta militer terhadap Erdogan pada tahun 2016.

Puluhan ribu pegawai negeri, pejabat pengadilan, personnel militer, jurnalis, dan politisi telah dipenjara dalam penumpasan tersebut. Sekitar 50 ribu orang, termasuk mantan kepala partai oposisi terbesar kedua, seorang jurnalis terkemuka, dan seorang dermawan, dikecualikan dari undang-undang baru karena mereka didakwa atau dihukum atas tuduhan terorisme, menurut anggota parlemen oposisi.

Selahattin Demirtas, mantan Ketua Partai Demokrat Rakyat pro-Kurdi (HDP), telah dipenjara selama sekitar 3,5 tahun, dituduh memimpin organisasi teroris. Pengacaranya mengatakan bahwa Demirtas (46) berisiko tinggi terinfeksi COVID-19 karena dia memiliki tekanan darah tinggi dan telah menjalani operasi untuk masalah pernapasan.

Pengacara Mahsuni Karaman juga mengatakan bahwa definisi terorisme tidak jelas dan subjektif. Ia menyebut, jutaan orang melihat Demirtas sebagai pahlawan, pemimpin politik.

"Tetapi pihak lain melihatnya sebagai teroris," katanya.

Tahanan terkemuka lainnya, termasuk penulis Ahmet Altan dan juru kampanye hak-hak sipil Osman Kavala, menghadapi situasi yang sama. Karaman mengatakan, keduanya berusia lebih dari 60 tahun.

"Dikombinasikan dengan pandemi, mereka dibiarkan mati," kata Karaman.

Demirtas dirawat di rumah sakit pada bulan Desember, beberapa hari setelah kehilangan kesadaran setelah sakit di bagian dada. Pekan lalu, pengacaranya mengajukan pembebasannya dengan alasan kesehatan.

Penumpasan sejak 2016 menyebabkan jumlah tahanan membengkak menjadi hampir 300 ribu. Turki memiliki populasi penjara terbesar kedua di Eropa dan sistem penjara yang paling ramai, menurut data dari Dewan Eropa.

Turki juga memiliki jumlah tertinggi narapidana berusia 65 tahun ke atas dengan 3.521 orang pada bulan Januari 2019. Turki telah memberlakukan perintah tinggal di rumah untuk mereka yang berusia di atas 65 tahun, mengingat mereka adalah kelompok paling rentan tertular virus corona.

Altan, jurnalis terkemuka berusia 70 tahun, dipenjara seumur hidup pada 2018 dengan tuduhan membantu kelompok teroris. Hukuman itu kemudian dibatalkan dan dia dibebaskan, hanya untuk dipenjara lagi minggu berikutnya.

Pengacaranya, Figen Calikusu, mengatakan bahwa hukum harus memungkinkan pembebasan sementara dari mereka yang belum dihukum.

"Tidak ada langkah apa pun yang bisa dia ambil untuk melindungi dirinya sendiri," kata Calikusu tentang Altan, yang berbagi sel dengan narapidana lain dan berhubungan dengan personnel penjara yang masing-masing berinteraksi dengan banyak tahanan lainnya.

Kavala, pengusaha dan dermawan terkemuka berusia 62 tahun, dibebaskan pada bulan Februari atas tuduhan terkait dengan protes nasional pada tahun 2013. Ia kemudian ditangkap lagi pada hari berikutnya dengan tuduhan terkait dengan upaya kudeta 2016.

Independensi peradilan Turki telah diperdebatkan dalam beberapa tahun terakhir. Kritikus mengatakan bahwa keputusan pengadilan dipengaruhi oleh para politikus.

Erdogan dan Partai AK-nya mengatakan bahwa pengadilan mengambil keputusan secara independen. Ditanya apakah dia yakin permintaan Demirtas untuk dibebaskan akan dikabulkan, pengacara Karaman mengatakan bahwa kliennya adalah "sandera politik".

"Kasus Demirtas selalu berada dalam radar presiden terhormat. Keputusan positif tidak dapat dibuat atas permintaan pembebasan tanpa sepengetahuannya," katanya.

Pada bulan lalu, Iran untuk sementara membebaskan sekitar 85 ribu orang dari penjara, termasuk tahanan politik, sebagai tanggapan atas pandemi itu, menurut seorang juru bicara pengadilan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement