REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak mudik demi menekan penyebaran virus corona (Covid-19). Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai bagi kelompok masyarakat yang ngotot atau nekat mudik, maka harus diberikan disinsentif.
"Misalnya untuk pengguna kendaraan bermotor pribadi dinaikkan harga BBM-nya dan atau tarif tolnya. Untuk pengguna angkutan umum, bisa dimahalkan tarif tiketnya, misalnya menjadi dua kali lipat dibanding harga normal," ujar Tulus dalam keterangan tertulis.
Tulus mengatakan, Pemerintah pusat seharusnya sejalan dengan kebijakan kepala daerah yang memberlakukan larangan mudik dari zona merah memasuki daerahnya. Jika akses mudik tetap dibuka maka akan berisiko bagi pemudik untuk ditolak di daerahnya, dan akan kesulitan akses untuk balik ke Jakarta lagi.
"Pernyataan pejabat pemerintah saling bertabrakan. Contoh, pernyataan Fadjroel Rachman sebagai jubir Presiden, yang membolehkan mudik Lebaran," ucapnya.
Hal yang sama juga terjadi secara formal di antara Kementerian. Misalnya, Kementerian PAN RB mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 41 tahun 2020, yang intinya melarang ASN (Aparatur Sipil Negara) melakukan perjalanan mudik, bahkan keluar kota, selama wabah covid-19 masih berlangsung. Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Manivest), justru masih tidak melarang mudik Lebaran. Tulus melanjutkan, setidaknya, itulah hal yang tecermin dalam public hearing Pengendalian Mudik 2020, pada Senin (6/4) lalu.
"Saya hadir dalam public hearing tersebut. Desain dan ideologi public hearing itu adalah bahwa masyarakat tetap bisa melakukan mudik Lebaran, tetapi dengan instrumen pengendalian ketat. Selain harus mengantongi izin dan persyaratan administrasi yang ketat, moda transportasi yang digunakan akan diperketat pula," kata Tulus.
Terkait strategi pengendalian mudik yang digagas Kemenko Manivest, ada beberapa catatan kritis, pertama orientasi pemerintah masih terlalu dominan kepentingan ekonominya. Menurutnya, hal ini tidak sejalan dengan protokol kesehatan sebagai upaya untuk mengendalikan virus corona. Jika pemerintah memaksakan mudik Lebaran, sekalipun dengan istilah pengendalian ketat, maka hal itu akan berisiko tinggi.
"Yakni, epicentrum virus corona akan menyebar dan atau berpindah ke daerah. Dampaknya akan menginfeksi petani, dan endingnya bisa mengancam pasokan logistik. Siapa yang akan memasok logistik, jika para petani tumbang, karena terinfeksi/tertular virus corona oleh para pemudik," katanya.
Selain itu, masifnya infeksi virus ke daerah akan membuat sistem pelayanan RS di daerah kewalahan, mengingat kondisi infrastruktur dan jumlah dokter dan tenaga kesehatan yang sangat terbatas.
Hal kedua,Tulus melanjutkan, pengawasan di lapangan akan sulit, bahkan praktiknya nyaris tidak bisa diimplementasikan. Lazimnya mudik dalam sikon yang cenderung crowded, sehingga sangat berat untuk mengontrol protokol kesehatan yang diterapkan.
"Misalnya mobil pribadi maksimal harus berpenumpang 4 orang, atau sepeda motor hanya boleh satu orang. Mudik adalah acara keluarga, tak mungkin dipisahkan dengan pembatasan kapasitas penumpang kendaraan pribadi," katanya.
Menurutnya, yang akan terjadi di lapangan polisi akan kompromistis, alias membiarkan pemudik motor berpenumpang dua orang atau lebih untuk jalan terus ke kampung halamannya. Tidak tega jika suruh balik lagi ke Jakarta, begitu juga untuk roda empat sekalipun.
"Demi menekan persebaran virus corona ke daerah, pemerintah harus bersikap tegas untuk melarang aktivitas mudik Lebaran. Pemerintah jangan bersikap ambigu dan inkonsisten. Sikap semacam ini justru menjadi pelecut untuk makin masifnya persebaran virus corona ke daerah," jelas Tulus.
Pemerintah diharapkan cepat dan tepat sasaran untuk memberikan insentif dan kompensasi pada warga yang tidak mudik, baik untuk keperluan logistik dan atau biaya tempat tinggal (sewa kontrakan), khususnya untuk kelompok menengah bawah, pekerja harian. Mereka memaksakan mudik karena di Jakarta sudah tidak ada pemasukan.