REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelajaran berikutnya adalah perihal apa yang dikonsumsi oleh seseorang. Bilgli menyebut, jika seseorang meminta ia untuk menulis buku pasca-apokaliptik, kertas toilet tidak akan punya tempat di dalamnya.
Namun, barang tersebut menjadi hal pertama yang orang beli, bersamaan dengan makanan dan masker ketika rumor tentang kemungkinan karantina wilayah terkait pandemi Covid-19 pertama kali mulai menyebar.
Tidak peduli apa alasan di balik itu, orang tetap panik membeli semua jenis barang. Apa yang dimiliki di lemari es atau apa yang telah kita konsumsi sejauh ini tidak terlalu penting.
"Kami lebih buruk daripada Pahom, petani rakus, di cerita 'How Much Land Does a Man Need?'. Kami ingin lebih dari apa yang sudah dimiliki," ujarnya.
Perilaku seperti ini, menurut Bilgli adalah tindakan yang tidak rasional namun cukup dapat dimengerti, karena setiap orang ingin merasa aman dan terjamin. Hal yang bisa dipelajari adalah, pandemi ini memiliki potensi untuk mengajarkan manusia tentang kebiasaan konsumsi pra-pandemi.
Mengonsumsi lebih sedikit saat pandemi terjadi membuat kita mempertanyakan apakah kita benar-benar membutuhkan sebanyak itu selama masa normal. Pertanyaan semacam ini sangat penting bagi dunia, karena dengan mengonsumsi lebih banyak kita berkontribusi terhadap pemanasan global.
Hanya dalam beberapa minggu, emisi NO2 dan CO2 turun secara dramatis. Ini terjadi karena penurunan signifikan dalam produksi industri dan jumlah perjalanan yang dibatasi.
Bagi umat Islam, ada masalah tambahan tentang konsumsi berlebih, sebagaimana menurut Alquran surat Al-An'am ayat 141. Allah SWT tidak menyukai hamba yang pemboros.
Meskipun beberapa intelektual Muslim mengkritik negara-negara Barat karena egois dan tidak bertanggung jawab mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan mereka sendiri, para modernisator Muslim tidak melihat ada masalah dalam menempuh jalur Barat menuju modernisasi dan "pembangunan". Massa Muslim juga tidak ragu untuk merangkul kebiasaan mengonsumsi kapitalis.
"Ini bisa menjadi peluang besar bagi kita untuk merenungkan kebiasaan konsumsi kita, serta kerusakan besar yang kita timbulkan di planet kita dan sesama manusia, melalui konsumsi dan produksi berlebihan," ucap Bilgli.