REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan langkah-langkah untuk membantu kondisi likuiditas perbankan dan lembaga keuangan. Hal ini menyusul adanya kebijakan keringanan kredit bagi debitur yang terdampak virus corona.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan jika perbankan memerlukan likuiditas maka didorong menggunakan fasilitas interbank call money. Sedangkan bagi lembaga keuangan nonbank bisa meminta untuk mengajukan restrukturisasi kepada bank pemberi pinjaman.
“Apakah nanti ada penanaman modal pemerintah? Saat ini masih terlalu dini untuk memperkirakan hal tersebut, mudah-mudahan tidak sampai,” ujarnya saat video conference Selasa (7/4) malam.
“Kalau perbankan perlu pinjam melalui lender of the last resort Bank Indonesia, setelah tidak dapat interbank call money maka BI akan berikan pinjaman likuditas, tapi ini kami harapkan tidak terjadi,” jelasnya.
Menurutnya jika perlu suntikan dana dari para investor maka pihak swasta akan diprioritaskan, jadi tidak mesti dari pemerintah. Adanya kebijakan merger bank yang bermasalah bukan berarti harus menggunakan dana suntikan pemerintah.
“Bisa sumber-sumber dana, kalau perlu suntikan kami bisa undang swasta,” ucapnya.
OJK pun meminta kepada seluruh lembaga keuangan untuk melaporkan kondisi likuiditasnya di tengah pandemi virus corona. Sebab, kebijakan relaksasi kredit pasti memengaruhi likuditas lembaga keuangan.
“Apabila ada yang likuditasnya sangat tipis dan ada yang perlu didiskusikan dengan OJK, ya tentunya akan dibicarakan,” ucapnya.
Kepala Esekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan kinerja perbankan pada kuartal pertama 2020 masih positif baik dari sisi permodalan dan kualitas kredit. “Perbankan masih cukup kuat dengan dukungan modal dan kondisi kualitas kredit di tengah pandemi virus corona,” ucapnya.
Heru merinci kecukupan modal bank masih pada level 22,42 persen, likuiditas bank besar yang diukur dari liquidity coverage ratio (LCR) masih di atas 200 persen, sedangkan BUKU II dan I masih di atas 100 persen, rasio kredit bermasalah gross masih pada level 2,79 persen dan net berada pada satu persen.
“Pertumbuhan kredit juga masih terjaga pada kisaran enam persen,” ucapnya.
Kendati demikian, Heru mengakui adanya potensi perlambatan pertumbuhan kredit yang lebih dalam pada tahun ini. Hanya saja, pihaknya masih belum berencana melakukan perubahan revisi target pertumbuhan kredit karena kondisi masih cukup dinamis.