Rabu 08 Apr 2020 17:17 WIB

OKI Tolak UU Demografi yang Diterapkan India untuk Kashmir

UU Demografi menurut OKI merugikan Muslim Kashmir.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nashih Nashrullah
UU Demografi menurut OKI merugikan Muslim Kashmir. Ilustrasi Muslim Kashmir.
Foto: AP Photo/Mukhtar Khan
UU Demografi menurut OKI merugikan Muslim Kashmir. Ilustrasi Muslim Kashmir.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menolak undang-undang baru yang diperkenalkan pemerintah India di Jammu dan Kashmir. UU ini mengatakan dapat mengubah demografi wilayah mayoritas Muslim.

Dilansir di Yenisafak, Rabu (8/4), badan Muslim itu menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas adopsi UU Perintah Reorganisasi Jammu dan Kashmir 2020.

Baca Juga

"Pengenalan undang-undang baru yang mengatur domisili ini semakin memperumit situasi yang sudah mengerikan di wilayah yang disengketakan sejak pemindahan sepihak pada 5 Agustus 2019 dari status khusus yang diberikan kepadanya berdasarkan Konstitusi," kata pernyataan itu.

Undang-undang baru dapat mengubah struktur demografis Jammu dan Kashmir, yang merupakan wilayah yang disengketakan sebagaimana diakui  resolusi yang relevan dari Dewan Keamanan PBB.

Di bawah undang-undang baru, yang diperkenalkan oleh pemerintah India, mereka yang telah tinggal selama 15 tahun di lembah yang disengketakan berhak untuk menjadi penduduk tetap.  Perkembangan ini mengikuti penghapusan status khusus lama kawasan yang disengketakan di New Delhi pada Agustus lalu.

Kashmir, wilayah Himalaya, dipegang India dan Pakistan sebagian dan diklaim keduanya secara penuh. Sedikit wilayah Kashmir juga dipegang China.  

Sejak mereka dipartisi pada 1947, kedua negara telah berperang tiga kali yaitu pada 1948, 1965, dan 1971. Dua di antaranya di Kashmir.

Selain itu, di gletser Siachen di Kashmir utara, pasukan India dan Pakistan telah berperang sesekali sejak 1984. Gencatan senjata mulai berlaku pada  2003.

Beberapa kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir telah berperang melawan pemerintah India untuk kemerdekaan, atau untuk penyatuan dengan negara tetangga Pakistan.  

Menurut beberapa organisasi hak asasi manusia, ribuan orang dilaporkan telah tewas dalam konflik di wilayah tersebut sejak 1989. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement