REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga Rabu (8/4) ini, sudah lebih dari 15.000 spesimen dari pasien terduga dan positif Covid-19 yang diperiksa melalui metode PCR. Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan metode yang digunakan tim medis untuk menegakkan diagnosis terhadap pasien.
Selain PCR, ada juga rapid test yang memeriksa antibodi seseorang sebagai skrining awal penyebaran Covid-19. Pasien yang mendapat hasil positif pada rapid test masih diwajibkan menjalani tes ulang sepekan setelahnya. Bila kembali positif, maka pasien ini akan dilakukan pemeriksaan PCR untuk menegakkan diagnosis.
"Sampai saat ini sudah dilakukan lebih dari 15.000 tes PCR. Ketersediaan reagen PCR sudah ada sampai 200.000. Tes PCR kita adalah tes untuk tegakkan diagnosis dari mekanisme skrining yang terarah," jelas Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, Rabu (8/4).
Pemerintah, ujar Yurianto, tidak menggunakan PCR sebagai skrining awal. PCR hanya dilakukan terhadap pasien dengan hasil positif dalam rapid test dan pasien-pasien lain yang punya risiko lebih tinggi terpapar Covid-19, termasuk yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
"Inilah efektivitas PCR kita sehingga persentasi positif PCR dari pemeriksaan relatif tinggi karena PCR tidak dilakukan dengan metode acak, tapi terpilih dan terstruktur dimulai dari awal," katanya.
Selain menggalakkan rapid test sebagai skrining awal, pemerintah juga terus memperbanyak penjejakan kontak terhadap pasien yang sudah dinyatakan positif Covid-19. Semua pihak yang sempat melakukan kontak langsung dengan pasien positif Covid-19 akan dipantau dan bila muncul gejala dan pemburukan akan segera dirawat dan dilakukan pemeriksaan PCR.
"Kita harus waspadai betul kelompok yang potensial menjadi sumber penularan. Di antaranya adalah kontak dekat kasus positif yang kita rawat, kemudian risiko pada tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, dan masyarakat di daerah di mana kasus Covid banyak ditemukan," katanya.