Rabu 08 Apr 2020 20:35 WIB

Muhammadiyah: Tidak Mudik Adalah Jihad Kemanusiaan

Muhammadiyah berpendapat mudik sebaiknya dilarang karena bukan peribadatan

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah turut menghadiri rapat koordinasi (rakor) Mudik 1441 H yang digelar Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Pada kesempatan itu, PP Muhammadiyah meminta pemerintah tegas melarang mudik.

Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB), Arif Jamali Muis menyampaikan pokok-pokok pandangan mudik saat wabah Covid-19. Berdasarkan prinsip dasar dan tujuan dalam syariat, masuk kategori hifdzun nafs atau memelihara jiwa.

"Berdasarkan itu, maka Muhammadiyah berpendapat mudik sebaiknya dilarang karena bukan peribadatan," kata Arif, Rabu (8/4).

Arif menyampaikan, dasar pendapatnya Surat Albaqarah 195, dan janganlah kalian jatuhkan diri dalam kebinasaan dengan tangan kalian sendiri, dan berbuat baiklah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

"Maka, dalam kontes pemahaman tersebut, bisa dikatakan tidak mudik untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19 adalah jihad kemanusiaan," ujar Arif.

Muhammadiyah menilai, pemerintah jika melarang perlu menyiapkan konsekuensi pengaturan yang tegas perihal tidak boleh mudik dan aspek-aspek teknisnya. Pertama, batasi mobilitas orang, transportasi umum dan moda pribadi.

Kedua, aspek-aspek nonteknis seperti kebijakan ganti cuti bersama, insentif atau jaring pengamanan sosial ke pekerja sektor transportasi. Perlu pula diperhatikan pula konsekuensi kalau tetap mudik dibolehkan pemerintah.

Perlu diperhatikan pula konsekuensi seperti potensi meningkatnya konflik di daerah tujuan mudik karena banyak komunitas menolak pemudik. PP Muhammadiyah merasa, persetujuan daerah tujuan seharusnya menjadi dasar izin untuk mudik.

Arif mengingatkan, jika pemudik tidak diterima komunitas dari tujuan mudik, jelas akan menimbulkan masalah sosial baru. Ia berpendapat, potensi konflik juga dapat terjadi ketika arus balik.

"Contohnya, di salah satu RT di Yogyakarta, Ketua RT membuat perjanjian bagi warga diizinkan untuk mudik dengan catatan tidak boleh kembali lagi ke RT-nya sebelum wabah selesai," kata Arif.

Ia melihat, kalimat pemudik berstatus ODP dan dapat dikarantina 14 hari di draft pemerintah bias. Arif menyarankan, kata dapat diganti jadi wajib dan pemerintah harus terbitkan petunjuk teknis karantina dan insentif fasilitas.

"Sampai kampung di karantina 14 hari di sebuah tempat karantina. misalnya di tempat yang telah disediakan pemerintah," ujar Arif.

Itupun, lanjut Arif, dengan catatan pulangnya 15 hari sebelum hari raya, dan jika berdekatan pemudik akan merayakan Idul Fitri di tempat karantina. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, turut memberikan catatan.

Ia menekankan, jangan sampai ormas-ormas dan tokoh-tokoh agama di Indonesia diminta meyakinkan warga untuk tidak mudik, tapi pemerintah sendiri justru membolehkan dan tidak melarang warga untuk mudik.

"Kalau memang pemerintah mengizinkan warga mudik, biarlah tokoh agama berhenti mengimbau warga, sehingga segala urusan Covid-19 menjadi sepenuhnya urusan pemerintah," kata Haedar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement