REPUBLIKA.CO.ID, “Akan datang kepada kalian sekarang ini seorang laki-laki penghuni surga.” Ucapan Rasulullah SAW ini serta-merta membuat riuh para sahabat yang tengah berada di masjid. Mereka bertanya-tanya, siapa gerangan sang penghuni surga itu.
Apakah dia salah satu sahabat yang paling rajin shalatnya atau yang paling rajin puasanya? Atau, yang paling banyak sedekahnya atau mungkin yang tak pernah absen dalam jihad?
Tak lama, para sahabat pun melihat seorang laki-laki Anshar dengan wajah basah. Air wudhu menetes dari janggutnya. Tangannya menjinjing sepasang sandal jepit. Tak ada yang spesial secara fisik.
Para sahabat pun bertanya-tanya alasan apa yang membuat laki-laki tersebut menjadi penghuni surga. Tentu saja, itu derajat tinggi yang sangat diinginkan setiap Muslim, apalagi para sahabat Rasul. Mereka semua menginginkan jaminan surga.
Tinggallah para sahabat terus dirundung keingintahuan. Salah satu sahabat yang amat penasaran, yakni Abdullah bin Amr bin Ash, berinisiatif untuk mencari tahu sendiri.
Hari ketiga setelah Rasulullah mengucapkan hal yang sama, Abdullah bermaksud mengikuti si laki-laki penghuni surga. Ia pun membuntutinya hingga tiba di rumah laki-laki itu. Abdullah berpikir bagaimana cara agar ia dapat mengetahui amalan apa yang mengantarkan pria itu meraih keistimewaan sebagai penghuni surga.
Ia lantas menyapa pria tersebut dan bermaksud meminta izin untuk menginap di rumahnya. Abdullah bermaksud tinggal di sana agar dapat mengetahui amalan si penghuni surga. Dia beralasan, tengah bertengkar dengan sang ayah.
Si penghuni surga dengan senang hati menyambut Abdullah. “Tentu, silakan,” ujarnya gembira. Maka, tinggallah Ibnu Amr di rumah calon penghuni surga itu selama tiga hari.
Selama tinggal di sana, Abdullah mengamati setiap ibadah dan amalan yang dilakukan si calon penghuni surga. Hari pertama, Abdullah tak menemukan adanya amalan spesial dari laki-laki itu. Hari kedua, ibadahnya masih sama, tak ada yang istimewa. Hingga hari terakhir, Abdullah tak juga menemukan ibadah yang luar biasa dari si laki-laki tersebut.
Abdullah hanya melihat ibadah si laki-laki dengan menjalankan ibadah wajib saja. Tanpa shalat tahajud. Meski Abdullah selalu mendengar laki-laki itu berzikir dan bertakbir acap kali terjaga dari tidur. Pria itu baru bangun saat waktu shalat subuh tiba.
Pria penghuni surga itu pun tak menjalankan puasa sunah. Tapi, Abdullah juga tak pernah mendengar pria itu berbicara, kecuali ucapan yang baik. Tiga hari terlewat tanpa menemukan jawaban apa pun. Bahkan, hampir saja Abdullah meremehkan amalan si penghuni surga jika tak mendapat jawaban sebelum pamit.
Ketika izin pulang setelah menginap tiga hari, Abdullah mengakui maksudnya untuk mencari keutamaan amalan si laki-laki itu hingga beruntung menjadi salah satu penghuni surga Allah yang dipenuhi segala kenikmatan.
Kepada pria itu Abdullah berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya tidak pernah terjadi pertengkaran antara aku dan ayahku. Tujuanku menginap di rumahmu adalah karena aku ingin tau amalan yang membuatmu menjadi penghuni surga sebagaimana yang disabdakan Rasulullah. Aku bermaksud, dengan melihat amalanmu itu aku akan menirunya supaya bisa menjadi sepertimu. Tapi, ternyata kau tidak terlalu banyak beramal kebaikan. Apakah sebenarnya hingga kau mampu mencapai sesuatu yang dikatakan Rasulullah sebagai penghuni surga?” tanyanya.
Laki-laki itu pun tersenyum dan menjawab ringan, “Aku tidak memiliki amalan kecuali semua yang telah engkau lihat selama tiga hari ini.” Jawabannya itu tak memuaskan hati Abdullah ibn Amr.
Namun, ketika Abdullah melangkah keluar dari rumah, laki-laki tersebut memanggilnya. Ia berkata kepada Abdullah, “Benar, amalanku hanya yang engkau lihat. Hanya saja, aku tidak pernah berbuat curang kepada seorang pun, baik kepada Muslimin ataupun selainnya. Aku juga tidak pernah iri ataupun hasad kepada seseorang atas karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.” Mendengarnya perkataan tersebut, takjublah Abdullah bin Amr bin Ash. Ia yakin, sifat tak pernah iri, dengki, dan hasad membuat pria itu masuk surga."