Jumat 10 Apr 2020 05:13 WIB

4 Potensi Risiko Pelebaran Defisit APBN Ini Perlu Diwaspadai

Besarnya stimulus penanggulangan Covid-19 membuat pelebaran defisit APBN membesar

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Defisit APBN melebar
Foto: Republika
Defisit APBN melebar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta lebih waspada terhadap dampak yang mungkin muncul akibat penanggulangan Covid-19. Menurut Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, besarnya stimulus menyiratkan pelebaran defisit sekaligus juga besarnya kebutuhan pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah.

CORE Indonesia memandang setidaknya ada empat potensi risiko yang perlu diperhatikan pemerintah akibat rencana pelebaran defisit dan pembiayaanya hingga 2022.

Baca Juga

Pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar.

"Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing. Sekitar 35 sampai 40 persen SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun China," kata Direktur Riset CORE, Piter Abdullah dalam keterangan pers, Kamis (9/4).

Piter mengungkapkan, kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Contoh teranyar bisa dilihat pada Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak Rp145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar.

Risiko kedua yaitu pelemahan nilai tukar. Piter mengatakan, tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar. Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4 persen.

Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia.

Ketiga, menurut Piter, pemerintah harus waspada terhadap risiko crowding out. Hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.

"Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah," terang Piter.

Risiko terakhir ialah peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun.

Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89 persen utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas.

Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufkatur ataupun keuangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement