REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan harga gas untuk sektor industri perlu dikaji ulang. Sebab, kebijakan tersebut harus memangkas pendapatan negara, sementara pemerintah membutuhkan dana besar untuk penanganan pandemi virus corona baru (Covid-19).
Anggota Komisi VII DPR Nasyirul Falah Amru mengatakan, kebijakan Pemerintah dalam mengimplementasikan penurunan harga gas menjadi 6 dolar per MMBTU perlu dievaluasi dan dikaji kembali terkait mekanisme, tata cara dan waktu pelaksanaanya.
Sehingga seluruh pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut nantinya dapat benar-benar bertanggung jawab dan memastikan keseluruhan proses implementasi baik manfaat yang diterima oleh industri, menjaga keekonomian pengelolaan bisnis penyaluran gas, dan yang paling penting memperhatikan kondisi keuangan negara di tengah penanganan Covid-19.
"Perlu di kaji ulang Peraturan Meteri turunannya yang saat ini masih harmonisasi. Jangan ambil kebijakan sepihak dan terkesan memudahkan masalah," kata Falah, Kamis (10/4).
Menurutnya, saat ini seluruh energi dan perhatian diberikan agar Indonesia dapat keluar dari pandemi Covid-19. Pemerintah saat ini pun sudah melakukan relokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), agar sebagian anggaran yang dapat digunakan dalam mendukung penanganan Covid-19.
Menteri Keuangan baru-baru ini telah mengutarakan bahwa Pemerintah akan menerbitkan surat utang terbesar sepanjang sejarah Indonesia dengan akumulasi nilai sebesar 4,3 miliar dolar AS. Dengan negara harus kembali berutang, maka menjadi pertanyaan apakah pantas membuat kebijakan “subsidi” untuk harga gas bumi industri yang akan semakin membebani kemampuan dari keuangan negara tersebut.
Di sisi lain, untuk menurunkan harga gas industri justru akan mengurangi pendapatan negara dari sisi hulu, sebab pemerintah akan menurunkan harga gas di hulu berkisar 4-4,5 dolar per MMBTU dengan mengurangi bagian negara. Tentunya jika kebijakan tersebut diterapkan saat ini akan membuat beban negara akan bertambah.
"Beban keuangan negara yang sudah defisit sebagaimana kita bisa lihat dalam Nota Keuangan ditambah kebutuhan anggaran yang besar untuk pemulihan dan penanganan pandemi ini jangan direcoki dan ditambah lagi dengan beban untuk memberikan subsidi harga gas industri," tuturnya.
Menurutnya, Implementasi Peraturan Nomor 40 Tahun 2016 tentang penurunan harga gas sangat tergantung kepada kemampuan keuangan negara atau APBN dalam memberikan subsidi. Sebab itu harus dicarikan solusi yang lebih kreatif, agar di satu sisi dapat membantu industri bertahan namun namun dilain sisi tidak mengganggu keuangan negara yang sudah terbebani dengan adanya pandemi Covid-19.
Selain itu investasi migas baik hulu dan hilir juga perlu dijagain, jangan sampai penerapan perpres menghambat pengembangan infrastruktur gas. "Ingat, sampai 2025 sesuai perencanaan pemerintah, Indonesia itu butuh bangun infrastruktur gas sepanjang lebih dari 17 ribu km dengan biaya sebesar Rp 277 triliun. Masih dipegang tidak komitmen tersebut oleh ESDM kalo perencanaan industri migas dihajar babak belur dengan kebijakan yang tidak komprehensif seperti ini," paparnya.
Dia melanjutkan, kebijakan ini juga akan semakin membuat ceruk defisit keuangan negara lebih dalam lagi, jika sampai mengganggu keekonomian dan marjin yang wajar dari BUMN Migas Indonesia karena kontribusi BUMN Migas terhadap pajak, PNBP dan dividen ke negara sangat besar dan mudah dilacak untuk mengetahui nilainya. Perlu diingat, dalam Undang-Undang 19 Tahun 2003 BUMN menjalankan Dua peran yaitu sebagai sumber pendanaan negara dan agen pembangunan.
"Yang terjadi tidak sesuai juga dengan amanat UU No 19 tentang BUMN. Kasihan juga, masa BUMN dipaksa merugi," tutupnya.