REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat pesepak bola profesional dunia, FIFPro, mengingatkan ancaman kesehatan mental yang membayangi para pengolah kulit bundar di tengah penangguhan kompetisi karena pandemi virus corona. "Kesehatan mental harus jadi perhatian besar," kata Sekretaris Jenderal FIFPro Jonas Baer-Hoffmann dalam wawancara dengan Reuters, Kamis (9/4).
Pasalnya, pesepak bola saat ini menghadapi ketidakpastian kompetisi setelah biasanya bisa menjadi pahlawan kendati harus pergi ke ujung dunia yang lain untuk melakukannya.
"Berdasar studi kami beberapa tahun terakhir, ada ancaman kesehatan mental yang lebih besar bagi pesepak bola dibanding orang kebanyakan. Sebab mereka biasanya berada dalam situasi bertensi tinggi dan kondisi saat ini membuat itu semua lebih buruk," kata Baer-Hoffmann.
Selain tekanan dari ketidakpastian kompetisi, pesepak bola profesional belakangan juga mendapat sorotan lain berupa desakan agar menerima pemotongan gaji. Ini mulai menjadi gelombang di banyak kompetisi top dan juga terjadi di liga-liga nonpopuler di belahan dunia lainnya.
"Ada banyak pemain muda yang sendirian, jauh dari kampung halaman, tanpa dukungan keluarga dan tak sedikit yang cuma punya kontrak berdurasi satu tahun saja. Itu semua menumpuk keresahan yang besar apakah mereka bisa menerima pendapatan setimpal pada akhir musim nanti," ujarnya melengkapi.
Berdasar survei FIFPro 2015, sebanyak 38 persen dari pesepak bola aktif dan 35 persen dari yang sudah pensiun pernah menghadapi depresi berat atau masalah kegelisahan.
Oleh karena itu, FIFPro menyarankan agar pesepak bola aktif untuk tetap terhubung dengan dunia melalui media sosial, menjaga kesehatan tetapi menghindari diri dari banjir informasi mengenai perkembangan Covid-19.
"Hindari membaca berlebihan berita mengenai Covid-19 ataupun informasi terkait di media sosial, itu bisa menambahkan kehawatiran yang tidak perlu," kata dia mengakhiri.