Jumat 10 Apr 2020 07:43 WIB

Pangan tak Dijamin Saat Corona, Kemiskinan Bisa Meningkat

Pemerintah dinilai perlu antisipasi potensi kenaikan kemiskinan akibat corona.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nur Aini
Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketahanan pangan selama masa pandemi Covid-19 menjadi salah satu isu krusial. Sebab, keterjangkauan akses pangan yang menjadi bagian dari ketahanan pangan mesti dipastikan pemerintah seiring penerapan pembatasan sosial di berbagai daerah. Tanpa ada jaminan akses pangan yang mudah, jumlah penduduk miskin yang selama ini ditekan oleh pemerintah bisa kembali bertambah.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menuturkan, pangkal persoalan saat ini bermula dari banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Terlebih mereka yang masuk dalam kategori miskin maupun rentan miskin.

Baca Juga

Padahal, sekitar 65 persen pengeluaran kelompok masyarakat miskin digunakan untuk kebutuhan makanan. Adapun, pengeluaran untuk makanan dari kelompok masyarakat rentan miskin sekitar 62 persen. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjamin dua kelompok itu untuk mendapatkan akses pangan dengan mudah.

"Pemerintah perlu mengantisipasi potensi peningkatan kemiskinan yang disebabkan akses pangan, khususnya akibat dari kehilangan pekerjaan," kata Tauhid dalam diskusti online dengan awak media, pekan ini.

Tauhid mengatakan, pemerintah memang memiliki program bantuan sembako untuk 20 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan nilai Rp 43,6 triliun. Namun, itu belum mencakup keluarga yang masuk dalam kategori rentan miskin. Jumlahnya saat ini mencapai 4,8 juta keluarga. Mereka, kata Tauhid, perlu dijaga agar tidak kembali terjerumus pada kategori miskin.

"Ada potensi mereka bisa turun kembali, bisa karena kenaikan harga pangan dan pendapatan yang berkurang atau karena sulit dapat kerja karena di PHK dalam waktu singkat," kata Tauhid.

Ia menuturkan, dari hasil studi para ahli, dengan sasaran 20 juta KPM saja, dibutuhkan sedikitnya 128.983 e-warong yang digunakan pemerintah untuk menyalurkan bantuan. Namun, hingga saat ini pun baru terdapat 98.311 e-warong sehingga masih dibutuhkan 30.672 e-warong untuk penyaluran bantuan bagi 20 juta KPM tersebut.

"Perlu akses yang merata pula dari sisi supplier, sekaligus layanan perbankan dan penyebarannya," kata Tauhid.

Sementara itu, Ekonom Indef Dhenny Yuartha Junifta, menambahkan, dunia tengah menghadapi tantangan perubahan iklim, tak terkecuali Indonesia. Ditambah adanya tantangan untuk menjaga produksi ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung.

Dhenny memaparkan, hasil survei McKinsey Global Institute tahun 2020 menyebut, ada risiko penurunan produksi tanaman biji-bijian, termasuk padi, sebesar 19 persen akibat adanya penurunan produktivitas 5 persen.

"Pemerintah mengklaim ketersediaan pangan sangat aman hingga bulan Agustus mendatang. Tapi tetap ada dua masalah, penurunan produktivitas serta potensi terhambatnya aktivitas panen akibat ada pembatasan-pembatasan aktivitas di berbagai daerah," ujarnya.

Belum lagi, industri di sektor pangan dan pertanian yang tentu mengalami penurunan produktivitas selama pandemi. Solusi importasi pangan yang ditempuh pun bukan menjamin keamanan pangan. Sebab, kata Dhenny, kebanyakan negara mengamankan produksi pangannya untuk kebutuhan dalam negeri.

Oleh karena itu, kata Dhenny, pemerintah harus menyiapkan berbagai skenario jangka panjang. Jika ketersediaan akses pangan memang dianggap aman hingga bulan Agustus mendatang, maka diperlukan skenario untuk mengamankan ketersediaan pangan pasca Agustus. Sebab hingga saat ini, tak ada yang bisa menjamin, kapan waktu tepatnya pandemi Covid-19 akan berakhir di Indonesia. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement