REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Komunikasi publik dari pemerintah saat terjadinya pandemi virus corona atau Covid-19 menjadi salah satu yang menjadi sorotan masyarakat. Banyak yang menganggap komunikasi yang dilakukan pemerintah kurang mengena ke masyarakat dan tidak berjalan secara sistematis.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UGM, Prof Hermin Indah Wahyuni, sepakat dengan hal itu. "Menurut saya dari sisi informasi kasus Covid-19 ini karakternya adalah karakter informasi yang belum sepenuhnya dipahami, sehingga banyak menjadikan ketidakpastian dalam merespons hal itu. Berbagai negara juga terkesan tidak siap meng-handle problem ini,” kata Prof Hermin dalam Serial Diskusi Penanganan Krisis Covid-19 bertema 'Komunikasi Publik Masa Krisis Covid-19' yang digelar Fisipol UGM, Selasa (7/4) lalu.
Hermin mengungkapkan, informasi tentang Covid-19 di Indonesia telah menjadi kode ganda (multicodes), yaitu kode kesehatan dan kode ekonomi. "Sebenarnya sah-sah saja Indonesia memaknai pandemi ini sebagai kode ganda seandainya optimal. Tetapi risikonya kita kehilangan fokus primer. Mana yang duluan? Kesehatan duluan atau kemanusiaan duluan?" kata Hermin dalam diskusi yang diselenggarakan secara daring tersebut.
Berbicara karakter komunikasi publik dalam masa pandemik, menurut Hermin, ada tiga hal yaitu komunikasi risiko, komunikasi krisis, dan komunikasi kedaruratan (emergency).
Menurut Hermin, komunikasi risiko artinya sebaiknya sebelum sebuah peristiwa terjadi maka pemerintah sudah mempersiapkan respons yang cepat, transparan, dan mudah diakses. Sementara komunikasi krisis memiliki karakter komunikasi untuk memenej secara strategis dan membingkai persepsi publik pada apa yang diharapkan untuk diikuti. Di sini sifatnya adalah jujur, akurat, dan seharusnya tidak bias, tepat, cepat, dan lengkap. Kemudian, komunikasi kedaruratan adalah bagaimana menjamin publik tetap terinformasikan dalam situasi pandemik serta menjaga kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah mengatasi masalah.
"Nah, di Indonesia sayangnya tiga hal ini harus kita hadapi secara bersamaan. Sehingga respons komunikasinya harus spesial," kata Hermin, yang juga kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM (PSSAT UGM) tersebut.
Hermin melanjutkan, di saat yang bersamaan dengan pandemi Covid-19 ini, masyarakat juga dihadapkan dengan problem wabah informasi (infodemic), yaitu jumlah informasi yang luar biasa membombardir masyarakat yang membuat sulit mengidentifikasi mana informasi yang benar serta mana yang memberikan tawaran yang solutif untuk menghadapi pandemi ini. Persoalan ini terkadang lebih mengerikan daripada virus itu sendiri.
Oleh karena itu yang harus dikembangkan adalah komunikasi yang meminimalkan rumor dan kesalahpahaman yang berpotensi menjauhkan dari respons yang seharusnya. “Ini yang sedang kita alami. Sekarang tiap hari kita banyak dibombardir isu-isu mulai dari obat dan perdebatan mengenai berbagai konsep yang justru berpotensi mengecilkan hati dan keyakinan apakah kita mampu melewati krisis ini," ujar Hermin.
Menurut Hermin, dalam situasi seperti ini media sangat berperan penting dalam komunikasi publik. "Media seharusnya tetap berpijak pada logika publik dalam menghadapi masa krisis dan menemani masyarakat untuk keluar dari masa-masa sulit," tuturnya.
Tantangan bagi Indonesia, kata Hermin, tidak mudah karena kita punya permasalahan akut yang belum pernah tuntas kita selesaikan. Yang pertama adalah bangunan sistem komunikasi publik yang lemah. Kedua, dominasi media baru khususnya media sosial yang cenderung sangat terbuka dengan keragaman informasi yang sangat banyak tapi kurang akurat, akibatnya gambaran di kepala masyarakat menjadi sangat banyak.
Sementara, media publik kurang mampu secara kuat memberikan warna dalam pembingkaian mengenai Covid-19. "Sehingga bagaimana media membingkai respons yang sangat beragam di masyarakat ini perlu ditautkan dengan integrasi komunikasi krisis dan komunikasi risiko pada level emergency. Ini sayangnya kita belum lihat," ujarnya.
Ia juga menilai ada kegenitan media, dalam hal ini pemakaian judul-judul yang clickcbait. Hal ini akan sangat berisiko pada pemahaman publik secara luas mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Ia pun mengimbau media untuk melakukan pembingkaian (framing) yang lebih halus (soft) dalam situasi pandemi seperti saat ini.