REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap diam dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa membantu seseorang menghindari godaan setan dan membantu menjaga agamanya.
Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan. Karena itu, Rasulullah menyebutkan dalam hadis riwayat Abu Hurairah, kebijaksanaan itu terdiri atas 10 bagian.
Sebanyak sembilan darinya berasal dari mengasingkan diri ('uzlah). Adapun satu lagi terdapat di sikap diam.
Merasa penasaran, seorang salaf yang bernama Wahib bin al-Ward pernah mempraktikkannya. Ia sudah mencoba diam dan tidak banyak berbicara, tetapi masih saja gagal.
Ternyata, diam saja tak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan ber-uzlah. Akhirnya, usahanya pun berhasil.
Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan ini pun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan bicara.
Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Sa'id al-Khudri. Permintaan itu pun akhirnya dikabulkan. Said al-Khudri berkata, "Berdiamlah kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu, engkau akan mengalahkan setan."
Namun, sayang, keutamaan diam ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal, di balik sikap diam yang proporsional--berbicara ketika dibutuhkan soal kebaikan--terdapat segudang hikmah.
"Hanya sedikit pelakunya," demikian sabda Rasulullah dalam hadis riwayat Anas bin Malik, yang dinukil Ibn 'Addi, Baihaqi, dan Qudha'i.
Inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah SAW menganjurkan agar diam dan menjaga lisan yang proporsional disosialisasikan dan ditradisikan di tengah masyarakat. Dalam riwayat Abdullah bin Mas'ud, seseorang telah mendatangi Rasulullah dan mengatakan, "Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang paling ditaati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka?"
Nabi SAW menjawab, "Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat."