Sabtu 11 Apr 2020 09:50 WIB

Terbata-bata Mengkomunikasikan Covid-19

Seperti perubahan iklim, Covid-19 sukar dikomunikasikan kepada masyarakat.

Sridewanto Pinuji
Foto: dok pribadi
Sridewanto Pinuji

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sridewanto Pinuji (Alumni Sekolah Kebijakan Publik Crawford, The Australian National University)

Sejak kemunculannya di Wuhan, sudah lebih dari tiga bulan kita dibuat risau oleh virus Korona Baru. Turut berduka cita untuk mereka yang menjadi korban karena pandemi Covid-19 dan semoga yang sakit karena penyakit ini lekas sembuh.

Kendati sudah lama dan berbagai hal dilakukan, tetapi kenapa perhatian dan tindakan kita seakan-akan tidak cukup untuk menghentikan penyebaran virus?

Masih banyak orang yang tidak sadar betapa bahayanya virus ini, tetap melakukan hal seperti biasa, bahkan ada yang menjadikannya sebagai komoditas politik.

Dugaan saya, kita sulit mengkomunikasikan risiko Covid-19, seperti saat kita kesulitan membicarakan risiko akibat perubahan iklim. Akibat kesulitan tersebut, maka keputusan dan langkah yang dilakukan juga tidak dapat secara cepat menghentikan penyebaran wabah.

Psikolog dari Universitas Harvard, Daniel Gilbert menjelaskan kesulitan mengkomunikasikan risiko perubahan iklim yang barangkali juga terjadi pada kasus Covid-19 ini. Dia menjabarkannya dalam 4-I.

Intention

Kendati perubahan iklim dan Covid-19 ini terjadi, tetapi dia tidak benar-benar menjadi ancaman untuk kita. Di sisi lain, otak manusia dirancang untuk menghadapi ancaman yang segera terjadi, seperti dari perampok, binatang buas, atau kelaparan.

Kecuali ancaman Covid-19 terjadi pada keluarga dekat, maka Anda masih akan menganggap virus penyebab penyakit tersebut tidak berbahaya. Selain itu, bisa jadi ada ancaman lain yang lebih mengkhawatirkan, misalnya saudara-saudara yang hidup dari hari ke hari-hidup hari ini, untuk melanjutkan kehidupan esok hari.

Perubahan iklim dan Covid-19 dengan demikian tak menjadi monster jahat yang memerlukan segenap perhatian kita. Ancamannya tak berbentuk dan bersifat umum, siapa saja dapat terkena, bukan kepada orang-orang tertentu.

Kondisi tersebut kemudian menyebabkan respon yang dilakukan tak maksimal. Kita cenderung mengecilkan ancaman Covid-19 dengan guyonan atau lebih memikirkan konsekuensi ekonomi ketimbang kesehatan.

Immoral

Krisis karena perubahan iklim dan Covid-19 memiliki kesamaan, yaitu tidak mengandung muatan asusila (immoral) akibatnya krisis tersebut tidak berhasil mencederai moral siapa pun. Dengan begitu, maka perhatian terhadap isu ini pun tak sebesar yang kita harapkan.

Bandingkan krisis karena Korona Baru yang terjadi dengan krisis lain, seperti penistaan agama, isu Uighur, dan isu Palestina. Isu mana yang lebih mendapatkan perhatian?

Dalam situasi tersebut, maka ketika Greta Thunberg hadir dan mengarahkan telunjuknya kepada orang-orang dewasa yang menyebabkan perubahan iklim, barulah isu iklim ini mendapatkan perhatian. Sebab, apa yang dilakukan Greta sangat efektif ketika mempertanyakan ketulusan orang dewasa dan membuka kesadaran kolektif orang dewasa atas terjadinya perubahan iklim.

Dalam hal Korona baru, apa isu moral yang dapat diangkat untuk mendapatkan perhatian yang besar?

Imminent

Ini berkaitan dengan ancaman lagi, terutama mengenai kedekatan baik dari sisi jarak dan waktu. Baik perubahan iklim dan Covid-19 awalnya terasa jauh dari sisi jarak dan waktu. Manakala krisis Korona baru ini merebak di Wuhan tiga bulan lalu, jaraknya jauh dari kita. Akibatnya, perhatian kita pun tak besar dan kesiapsiagaan menjadi lemah.

Padahal pada tahun 2014, Presiden Obama sudah mengingatkan ketika dunia menghadapi ancaman wabah Ebola. Dalam dunia global saat ini, ketika orang bisa berpindah dari satu tempat di dunia ke ujung lainnya hanya dalam sehari, maka ancaman penyebaran wabah menjadi sulit dielakkan.

Obama seperti juga Bill Gates sudah mengingatkan beberapa waktu lalu mengenai ancaman dari wabah penyakit yang dapat menjadi pandemi dan mengancam manusia dan hasil-hasil karyanya di seluruh dunia. Mereka menyerukan perlunya dunia bersiap menghadapi ancaman tersebut dengan menggalakkan penelitian, penyiapan fasilitas kesehatan, hingga deteksi awal.

Namun, kembali terbukti bahwa jarak dan waktu yang jauh antara kita saat itu dengan ancaman yang belum terlihat menyebabkan kita kesulitan memusatkan perhatian. Selain itu, berbagai peristiwa di dunia atau di tiap negara membutuhkan perhatian lebih dan terjadi perubahan fokus serta prioritas.

Isu ini pula kiranya yang diangkat Yuval Noah Harari di The New York Times mengenai pemimpin dunia yang hilang dalam krisis COVID-19 ini. Bangsa Amerika yang pada tahun-tahun lalu memimpin upaya dunia, seperti saat menghadapi wabah Ebola, kini pun terlambat dan harus berjibaku menghadapi krisis yang sama di negaranya sendiri. Lagi pula, saat ini tak ada negara di dunia yang bersedia mengikuti negara yang bersemboyan 'Amerika duluan.'

Menurut Daniel Gilbert, otak manusia sulit menghadapi ancaman yang jauh dan datang dalam waktu lama. Namun, kini Covid-19  sudah terjadi di tengah kita, hanya agar didapatkan perhatian sepenuhnya, barangkali perlu informasi seberapa dekat kita dengan ancaman tersebut.

Instantaneous

Ini masih berhubungan dengan kecepatan atau ke-segera-an (jika ada kata itu) akan dampak dari perubahan iklim dan Covid-19. Keduanya tidak menunjukkan dampak yang dapat segera diamati dan dirasakan. Kondisi makin membingungkan untuk Covid-19 dengan adanya Orang Tanpa Gejala (OTG) dan masa inkubasi 14 hari.

Dalam kondisi tersebut, maka mengulang pesan dari Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dan para ahli, termasuk pengalaman baik dari Korea Selatan, bahwa tes, tes, dan tes menjadi sangat penting untuk mengetahui dampak dan penyebaran dari Covid-19.

Ketidaksegeraan dampak yang dapat diamati dari perubahan iklim dan Covid-19 juga menyebabkan orang terbiasa dengan ancaman tersebut. Setelah tiap hari mendengarkan data positif, sembuh, dan meninggal, kini kita pun menjadi terbiasa. Angka-angka tersebut kemudian 'hanya' menjadi rekaman statisik belaka yang memuaskan para pemodel matematika akan ketepatan dan ketidaktepatan modelnya.

Penutup

Dari uraian panjang lebar di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa seperti perubahan iklim, sulit mengkomunikasikan risiko COVID-19. Hal ini terjadi karena ancaman yang tidak terlihat, datangnya entah kapan, tidak mencederai moral, merasa jauh dari sisi jarak dan waktu, dan kita justru menjadi terbiasa.

Penelitian Global Facility for Disaster Risk Reduction and Recovery (GFDRR), sebuah inisiatif dari Bank Dunia pada tahun 2014, menyatakan bahwa di seluruh dunia muncul konsensus akan pentingnya informasi risiko bencana dan krisis, terutama dalam pengelolaan risiko bencana. Sebab, ketika risiko bencana dan juga potensi dampaknya diketahui, maka pemerintah, masyarakat, dan setiap individu dapat membuat keputusan yang lebih baik. n

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement