Sabtu 11 Apr 2020 16:18 WIB

Industri Tinta di Dunia Islam

Industri tinta di dunia Islam sama pesatnya dengan perkembangan seni kaligrafi.

Rep: Heri Ruslan/ Red: Hasanul Rizqa
Rancangan kaligrafi Alquran
Foto: KH Didin Suradjudin AR
Rancangan kaligrafi Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu faktor yang telah mendorong perkembangan sains, ilmu pengetahuan, dan kesenian di dunia Islam adalah tersedianya tinta dan zat warna. Umat Islam pada zaman kekhalifahan memberi perhatian khusus terhadap ketersediaan dua komoditas itu.

Perkembangan industri tinta dan zat warna direkam secara khusus oleh Al-Muzz Ibnu Badis (wafat 416 H/1025 H) dalam bukunya bertajuk, Umdat Al-Kuttab (Buku tentang Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif). Bagaimanapun, peradaban Islam memang bukanlah yang pertama menemukan tinta dan zat warna.

Baca Juga

Menurut catatan sejarah, perabadan Cina telah menemukan tinta untuk menghitamkan permukaan gambar dan tulisan yang terpahat pada batu sekitar lima ribu tahun yang lalu. Mereka membuat tinta dari campuran jelaga dari asap kayu cemara, lampu minyak, dan jelatin dari kulit binatang serta darah yang dibekukan.

Ada pula yang menyebutkan, tinta telah digunakan peradaban India Kuno pada abad keempat sebelum Masehi (SM). Hal itu terungkap dari sebuah naskah kuno India, Kharosthi, yang ditemukan para arkeolog di wilayah Cina Timur (sekarang Xinjiang). "Resep pembuatan tinta telah ditemukan 1.600 tahun lalu," ungkap Sharon J Hutington.

Will Kwiatkowski dalam bukunya berjudul, Ink and Gold: Islamic Calligraphy, menuturkan, produksi tinta di dunia Islam telah dimulai pada seribu tahun yang lalu. Pada masa itu, tinta digunakan untuk menulis kaligrafi.

Produksi tinta sama pesatnya dengan pencapaian dunia Islam di bidang seni kaligrafi. Produksi tinta berkembang di setiap kekhalifahan, seperti Abbasiyah (749-1258), Seljuk (1055- 1243), Safawiyah (1520-1736), dan Mughal (1526-1857).

Ahmad Y Al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk, Islamic Technology:An Ilustrated History, mengungkapkan, di era kejayaannya Peradaban Muslim telah mampu memproduksi tinta hitam.

Pembuatan tinta

Pada masa itu, terdapat dua tipe utama tinta permanen. Pertama, tinta permanen yang dihasilkan dari partikel-partikel halus karbon dan kedua adalah tinta hitam yang berasal dari besi tanat. Menurut Al-Hassan dan Hill, karbon untuk tinta hitam diperoleh dari jelaga berbagai minyak dan lemak, seperti minyak biji rami dan minyak bumi, atau arang giling yang dibuat dari berbagai biji-bijian.

Cara membuat tinta di masa itu begitu khas. Salah satu cara membuat tinta dari jelaga, papar Al-Hassan, dengan menggunakan lampu empat sumbu untuk membakar minyak biji rami. Pada bagian atas lampu, terdapat penutup berbentuk kubah dengan sebuah lubang dan di atasnya terdapat lagi enam penutup serupa membentuk cerobong. Sumbu dinyalakan dan minyak terbakar habis, kemudian jelaga yang terkumpul di dalam cerobong dikumpulkan menggunakan bulu. Selanjutnya, jelaga itu diayak hingga didapat serbuk yang halus.

Pembuatan tinta permanennya juga ada yang menggunakan gom Arab (diperoleh dari tumbuhan sejenis akasia) sebagai bahan pengikat, walaupun glair (dibuat dari kocokan putih telur) dapat dijadikan alternatif.

"Tinta lain juga dijabarkan dalam manuskrip Arab, di antaranya tinta biruhitam yang didapatkan dari biji-bijian tertentu dan ferro sulfat yang masih digunakan hingga kini," ungkap Al-Hassan dan Hill.

Dalam bukunya berjudul, Keahlian Menulis dan Peralatan Orang-orang Arif, Ibnu Badis juga mengungkapkan keberhasilan umat Islam dalam memproduksi tinta berwarna, cat minyak, dan pernis.

Zat warna seperti ini digunakan dengan pena atau sikat dan digunakan untuk menulis, melukis miniatur pada kertas, kulit, kayu, dan permukaan-permukaan lain.

Ibnu Badis, seperti dikutip Al-Hassan dan Hill, memaparkan, pewarna hitam berasal dari karbon yang diperoleh dari jelaga lampu atau arang khusus seperti yang diterangkan sebelumnya. "Pewarna putih dihasilkan dari timah (isfidaj), bahkan terkadang dicampur dengan putih tulang," paparnya.

Lalu bagaimana dengan pewarna merah? Menurut Al-Hassan dan Hill, pewarna me - rah yang ditemukan dunia Islam terdapat dalam berbagai nuansa. Unsur pokoknya adalah cinabar (zanifar), kristal merkuri sulfida dan timah merah (isribj) terkadang juga digunakan lempung batu besi yang mengandung lapisan merah.

Lac, resin berwarna merah gelap yang ditanamkan ke batang pohon tertentu oleh serangga lac (laccifer lacca), juga diproses untuk pewarna ini dan petunjuk rinci pembuatannya banyak dipublikasikan. Sementara itu, pewarna kuning diproduksi terutama dari orpiment (zarnikh ashfa) arsenik trisulfida. Menurut naskah Arab, massicot (timah monoksida) sebagaimana saffron bisa digunakan bersama zat warna lain.

Sebuah manuskrip abad ke-16 M mencatat proses pembuatan cat dan teknik pemakaiannya. Untuk membuat cat minyak, dibutuhkan campuran larutan gom resin sandarak dengan minyak biji rami, kemudian ditambahkan zat warna bersama sulingan nafta. Semua bahan-bahan itu dicampurkan dan dilarutkan dengan cara dikocok. Selain itu, peradaban Islam juga tercatat berhasil menciptakan pernis.

Larutan ini diproduksi untuk melindungi lukisan. Pernis dibuat dengan cara menambahkan pelarut nafta (minyak tanah putih) ke dalam campuran kental sandarak dan minyak biji rami. Larutan itu kemudian dilaburkan ke permukaan yang ingin dilindungi.

Begitulah, peradaban Islam memproduksi tinta dan zat warna yang penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni rupa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement