REPUBLIKA.CO.ID, Penguasa Mataram mendapat pengaruh besar dari Turki Utsmani. Hubungan antara keduanya pun diduga sudah semakin dalam. Berikut buktinya:
1. Ustaz Salim A Fillah, penulis buku Sang Pangeran dan Janissary Terakhir menjelaskan, Katib Celebi Pasha (1609-1657), ulama, astronom, sekaligus sejarawan membuat sebuah buku berjudul Jihanama (Universal Geography). Buku yang dipublikasikan oleh Ibrahim Muteferrika (1674-1745) itu memuat sebuah peta Asia Tenggara.
Di dalamnya, terbentang kepulauan Nusantara, termasuk Jawa. Penulis pun mencantumkan sebuah lokasi yang presisi ditulis dengan bahasa Arab sebagai 'Mataran'. Dalam bahasa Turki Utsmani, huruf mati 'n' dibaca sama dengan 'm'. Maksud Mataran di peta itu adalah Mataram. Bila dilihat, Katib Celebi Pasha hidup sezaman dengan bertakhtanya Sultan Agung (1613-1645). Ustaz Salim pun menduga jika Katib Celebi Pasha pernah mengunjungi Karta, sebuah kota besar yang masyhur di tenggara Yogyakarta.
2. Tidak hanya itu, Ustaz Salim menerangkan, Raden Sutawijaya yang merupakan pendiri Kerajaan Mataram menggunakan gelar Panembahan Senapati. Padahal, belum ada sebelumnya penguasa Nusantara yang menggandeng kepiawaiannya memimpin perang sebagai gelar. Patut diduga, ujar Ustaz Salim, referensi gelar ini adalah Turki Utsmani yang pimpinannya bergelar Sultan Ghazi. Frasa ini akan mirip dengan 'Panembahan' (Sultan) dan 'Senapati' (Ghazi). Kemasyhuran Sultan Sulayman Al Qanuni (1520-1566) di Turki yang memperluas wilayah kekuasaannya hing ga tiga benua juga tentu diketahui masyarakat Jawa.
3. Panembahan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) tercatat mengirim utusan ke pusat kuasa dunia Islam. Menurut satu kisah, utusan itu berhasil menghadap Malikul Barrain wa Khaqanul Bahrain wa Khadimul Haramain, Qaishar Ar Rumi, Khalifatullah wa Zhilluhu fil Ardhi Al Ghazi (raja dua benua, khan agung dua samudra, pelayan dua Tanah Suci, kaisar Romawi, khalifah Allah dan bayangan-Nya di bumi, sang panglima, Sultan Murad IV (1623-1640)) pada tahun terakhir pemerintahannya.
4. Riwayat lain menyebut, Murad IV diwakili Syarif Makkah Zaid ibnu Muhsin Al Hasyimi menerima utusan tersebut di kota suci. Bagi raja Mataram, lalu ditahbiskan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Jawi Mataram, disertai tarbusy untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zamzam. Utusan itu kembali ke Mataram dan kembali di Kedhaton Karta (ibu kota Mataram di sebelah Kota Yogyakarta sekarang) pada 1641.
5. Model tarbusy itu kelak dikenakan oleh keturunan Sultan Agung dalam penobatan raja-raja Mataram sebagai kuluk. Benderanya berupa sejahit bagian kiswah Ka'bah berwar na hitam menjadi pusaka Kiai Tunggul Wulung. Sejahit lainnya diambil dari bagian satir makam Rasulullah berwarna putih dinamakan Kiai Pare Anom yang masih menjadi pusaka Keraton Yogyakarta.
6. Guci yang dulunya berisi air zamzam itu kini ada di makam Sultan Agung di Imogiri dengan nama Enceh Kyai Mendung dari Sultan Rum' Hubungan lainnya terjadi saat Keraton Surakarta membangun hubungan bilateral yang cukup intensif dengan Turki Utsmani pada zaman Pakubuwono X (1866-1939).
7. Jejak peninggalan Utsmani masih tampak pada Masjid Agung Surakarta. Di masjid tersebut, jamaah bisa menyaksikan mihrab ber bentuk bulan sabit yang diatasnya memiliki stempel khas Utsmani, yakni Tughra.
Tidak hanya itu, masjid agung ini juga memiliki gapura bergaya Utsmani. "Tidak terbantahkan jika Solo dan Utsmani memiliki hubungan bilateral yang sangat erat," ujar Peng hulu Tafsir Anom Keraton Surakarta Muhamad Muhtarom kepada Republika.
8. Pakubuwono X bahkan mengucapkan selamat saat Sultan Abdul Hamid II selamat dari upaya pembunuhan dan kudeta. Kasori Mujahid mengungkapkan, surat tersebut ada pada arsip Turki Utsmani. Isinya menjelaskan ucapan selamat Sultan Surakarta Abdurrach man (gelar PB X).
"Cava Adasindaki Surakarta gehrinin rocasi Abdurrchman'in, Sultan 2. Abdulha mid suikasttan kurtulmasi uzerine Batavya Bo cehbenderligi araciligryla urz ettiyi tebrik yazisinin, sultan'a sunuldugu hakkindadir."