REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gunung Anak Krakatau kembali erupsi pada Jumat, (10/4) sebanyak dua kali, yaitu pada pukul 21.58 WIB dan pukul 22.35 WIB.
Tipe letusan yang terjadi adalah strombolian dengan tinggi kolom letusan kurang lebih 500 meter. Banyak yang mengaitkan erupsi tersebut dengan suara dentuman yang terjadi di Jakarta, Bogor, dan Depok pada 11 April dini hari.
Belum ada konfirmasi resmi. Namun, Vulkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrachman, mempunyai analisis sendiri soal dentuman tersebut. Dia mengungkapkan, suara dentuman bisa terjadi salah satunya karena aktivitas magma dari suatu gunung api, akibat perpindahan magma secara tiba-tiba dari dapur magma ke lokasi yang lebih dangkal.
Sehingga, menurut dia, kejadian ini mengakibatkan terjadinya kekosongan dan ambruknya dapur magma dalam. Kondisi itu menghasilkan dentuman dan getaran di daerah sekitarnya. Fenomena yang seiring dijuga disebut underground explosion ini bisa dan tidak selalu diikuti oleh suatu erupsi gunung api.
“Namun, hal tersebut masih perlu mendapat dikaji terlebih dahulu dengan data kegempaan serta perubahan temperatur dan pelepasan gas dari gunung-gunung di sekitar Jabodetabek, juga Gunung Anak Krakatau,” ujar Mirzam kepada wartawan, Ahad (12/4).
Hipotesis tersebut, menurut dia, didasarkan pada peristiwa serupa yang terjadi di tiga gunung api di tiga negara, yakni Gunung Api Miyakejima Jepang (tahun 2000), Gunung Piton de La Fournaise Pulau Reunion (tahun 2007), dan gunung di Kepulauan Mayotte Prancis (tahun 2018).
Dosen Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tersebut memastikan bahwa hipotesis atau dugaan tersebut masih perlu dikaji dan dibuktikan, apakah dentuman keras misterius tersebut mempunyai hubungan dengan erupsi Gunung Anak Krakatau pada Jumat lalu.
Gunung Anak Krakatau berada di antara Pulau Panjang, Sertung, dan Pulau Rakata di Selat Sunda Provinsi Lampung. Ia menjelaskan, letusan Gunung Anak Krakatau termasuk tipe strombolian dan vulkanian yang memiliki energi letusan tergolong rendah hingga sedang. Berdasarkan data Volcanic Explosivity Index (VEI), Gunung Anak Krakatau memiliki nilai VEI 2-3, artinya tergolong rendah hingga sedang.
Mirzam Abdurrachman menambahkan, Gunung Anak Krakatau baru muncul ke permukaan sejak tahun 1927. “Sejak tahun tersebut, Gunung Anak Krakatau tumbuh besar dan mempesona,” ujar Mirzam.
Gunung Anak Krakatau adalah sisa sejarah panjang letusan Krakatau Purba yang berlangsung sejak abad ke-5, hingga letusan pada tahun 1883 yang hanya menyisakan Rakata, Panjang, dan Sertung.
Hampir setiap tahun, Gunung Anak Krakatau memperlihatkan aktivitas vulkanisme. Pola letusannya pun kini tercatat semakin teratur sejak 2008. Letusan eksplosif dan efusi tersebut datang silih berganti setiap dua tahun sekali dan membentuk sebuah pola. Sampai saat ini, tingkat aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau masih tetap pada Level II (Waspada).