REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Di saat China telah mengakhiri aturan lockdown, banyak pasangan di sana dilaporkan mengajukan cerai. Apakah karena pertemuan intens menjadi penyebabnya?
Menurut harian China The Global Times pada pekan lalu, kota Xi'an menerima banyak laporan pengajuan perceraian. Terkurung di rumah bersama dengan keluarga dalam jangka panjang disebut-sebut menjadi penyebab meningkatnya ketegangan dan konflik suami-istri.
Bahkan, lockdown juga disebut telah menjadikan hidup sejumlah orang dalam bahaya serius akibat adanya kekerasan keluarga. Kekerasan keluarga adalah kekerasan, mengancam, memaksa, atau mengendalikan perilaku yang terjadi dalam hubungan keluarga saat ini atau sebelumnya, baik dalam hubungan rumah tangga atau hubungan intim.
Kekerasan dalam keluarga mencakup pelecehan fisik, pelecehan seksual, pelecehan emosional dan psikologis, kontrol ekonomi, isolasi sosial, dan perilaku lainnya yang dapat menyebabkan seseorang hidup dalam ketakutan. Sejak lockdown, untuk pertama kalinya, korban kekerasan keluarga menjadi terjebak di rumah dengan pelaku kekerasan selama berminggu-minggu.
Biasanya, mereka bisa sedikit bernapas lega karena interaksi dengan pelaku kekerasan rumah tangga terputus ketika pergi bekerja atau sekolah. Efek sekunder potensial dari krisis virus corona ini belum mendapatkan perhatian yang semestinya. Meskipun ada juga bukti di masa lalu bahwa kekerasan keluarga bisa meningkat karena sebab lain, yakni keadaan darurat seperti bencana alam dan wabah penyakit.
Para advokat di China, Amerika Serikat, dan Italia, semuanya melaporkan lonjakan korban yang menghubungi hotline dan organisasi yang membantu mengatasi kekerasan keluarga. Di Singapura, Saluran Bantuan Perempuan AWARE juga mengalami peningkatan 33 persen pada Februari 2020 dibanding tahun lalu dalam periode yang sama.
Hal sepele picu perdebatan
Salah seorang pasangan yang tinggal di Depok, Jawa Barat, Ambar Ardini dan Taovan, mengaku kerap beberapa kali mengalami keributan kecil karena hal sepele. Yang paling terbaru adalah ketika ada makanan tumpah saat makan malam dan mereka memiliki pandangan berbeda soal waktu membersihkannya.
“Jadi begitu makanan nggak sengaja tumpah, saya mau langsung dibersihin saat itu juga. Tapi suami mau bersihkan seusai makan, gara-gara itu saja bisa berdebat. Nggak lama baikan lagi sih,” ungkap Ambar kepada Republika.co.id.
Ambar dan suaminya yang sama-sama bekerja sebagai karyawan swasta sudah sejak 16 Maret 2020 work from home (WFH) karena aturan dari kantor mereka. Otomatis, intensitas pertemuan mereka yang biasanya dijeda selama waktu kerja, menjadi intensif setiap hari.
“Mungkin ada pengaruhnya karena ketemu hampir setiap menit, mungkin ya. Nggak setiap hari kok ributnya. Tapi bosan dan jenuh pasti ada. Lebih ke bosan karena di rumah saja, terus dilampiasin ke pasangan, bisa juga begitu,” kata Ambar.
Namun, bagi Ambar dan suami, tidak ada alasan bagi mereka untuk melakukan kekerasan keluarga di tengah karantina mandiri di rumah seperti sekarang. Mereka berpendapat, berantem kecil adalah hal yang wajar. Bagi Ambar, anak menjadi bagian dari hidup mereka yang sangat menghibur selama #dirumahaja.
Kalau memang ada yang sampai melakukan kekerasan keluarga dengan alasan intensitas bertemu yang lebih sering, menurut Ambar, pasti ada yang salah dengan pasangan itu. Ia menduga, bisa jadi sifat orang itu memang kasar."Jadi baru ketika stres, keluar sifat aslinya. Terus bawa-bawa alasan karena karantina,” tutur perempuan berusia 28 tahun itu.