REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adysha Citra Ramadani, Umi Nur Fadhilah, Desy Susilawati
Masih ada banyak hal yang belum diketahui seputar Covid-19. Belum jelas mengapa pada beberapa kasus ditemukan laporan adanya kehilangan kemampuan penciuman hingga masalah otak di beberapa kasus lainnya.
Beberapa masalah otak seperti strok dan perubahan kesadaran hingga masalah saraf lainnya cukup banyak ditemukan pada pasien Covid-19 dengan kondisi yang berat. Hal ini diungkapkan dalam sebuah studi terbaru oleh peneliti China yang dipublikasikan pada JAMA Neurology.
Studi ini melibatkan 214 kasus Covid-19 berat yang terjadi di Wuhan pada fase awal kemunculan pandemi Covid-19. Seluruh pasien ini mengalami gejala Covid-19 yang cukup berat sehingga membutuhkan rawat inap di rumah sakit.
Covid-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus corona jenis baru bernama SARS-CoV-2. Para pasien Covid-19 yang diobservasi dalam studi ini dirawat pada periode 16 Januari hingga 19 Februari. Rata-rata usia pasien adalah 53 tahun.
Selama studi berlangsung, tim peneliti mengamati ada tidaknya gejala-gejala yang menunjukkan gangguan pada otak atau sistem saraf pusat. Tim peneliti mendapati gejala-gejala neurologis semakin banyak ditemukan seiring dengan memberatnya kondisi pasien. Dan pada beberapa pasien yang mengalami gejala neurologis, gejala umum Covid-19 justru tidak ditemukan.
"Sebagian pasien tanpa gejala umum Covid-19 datang ke rumah sakit hanya dengan manifestasi neurologis," jelas tim peneliti yang dipimpin oleh spesialis saraf Dr Bo Hu dari Union Hospital di Wuhan, seperti dilansir WebMD.
Pada beberapa kasus, gejala neurologis yang muncul cukup berat dan mengancam jiwa pasien Covid-19. Menurut peneliti, setidaknya ditemukan enam kasus dengan strok hemoragik atau strok yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak pada pasien-pasien Covid-19 yang diobservasi.
Belum diketahui apakah infeksi SARS-CoV-2 dapat menjadi pemicu langsung timbulnya strok pada pasien Covid-19. Namun, perburukan kondisi pada kasus Covid-19 berat bisa berkaitan dengan adanya kejadian atau masalah neurologis seperti strok.
"Yang bisa berkontribusi pada tingginya angka kematian (kasus Covid-19)," jelas tim peneliti, dilansir dari Web MD.
Kecurigaan bahwa virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, bisa "menyusup" masuk dan memengaruhi otak serta sistem saraf pusat bukanlah hal baru. Bulan lalu, sejulah laporan telah menunjukkan bahwa salah satu tanda kunci dari infeksi di otak adalah hilangnya penciuman. Kehilangan penciuman ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 bisa memengaruhi jalur saraf.
Ahli saraf di seluruh dunia memang menyatakan sebagian kecil pasien Covid-19 mengalami gangguan serius pada otak. Meskipun demam, batuk, dan sulit bernapas merupakan ciri khas infeksi virus corona baru beberapa pasien menunjukkan perubahan status mental atau ensefalopati.
Ensefalopati merupakan istilah umum untuk penyakit otak atau disfungsi yang dapat memiliki banyak penyebab mendasar serta kondisi serius lainnya. Sindrom neurologis itu muncul dengan gejala lain, seperti berkurangnya indra penciuman ataupun rasa serta penyakit jantung.
Pada awal Maret, seorang pria berusia 74 tahun datang ke ruang gawat darurat di Boca Raton, Florida, dengan gejala batuk dan demam. Namun, hasil sinar-X tidak menunjukkan pneumonia, kemudian pasien diminta pulang.
Keesokan harinya, anggota keluarga membawa pasien datang lagi ke rumah sakit karena demamnya makin tinggi. Bahkan, pasien kahabisan napas sampai tak bisa memberi tahu dokter tentang nama atau keluhannya.
Pasien kehilangan kemampuan bicara. Pasien yang menderita penyakit paru-paru kronis dan parkinson itu kejang-kejang. Dokter mencurigainya terinfeksi Covid-19. Hasil tes menunjukkan positif.
Kemudian, dokter-dokter di Detroit melaporkan kasus lain dari seorang pekerja maskapai wanita berudia akhir 50-an dengan infeksi Covid-19. Pasien merasa bingung dan mengeluh sakit kepala.
Pasien bisa memberi tahu dokter namanya, tetapi tidak informasi yang disampaikan. Pasien menjadi kurang responsif dari waktu ke waktu.
Pemindaian otak menunjukkan pembengkakan dan peradangan tidak normal di beberapa daerah kepala. Bahkan, beberapa sel mati di area yang lebih kecil. Dokter mendiagnosis kondisi berbahaya yang disebut ensefalopati nekrotikans akut, yakni komplikasi influenza yang jarang dan infeksi virus lainnya.
“Pola keterlibatan dan cara perkembangannya dalam beberapa hari konsisten dengan peradangan virus di otak. Ini mungkin mengindikasikan virus dapat menyerang otak secara langsung dalam keadaan langka, pasien dalam kondisi kritis,” kata ahli saraf dari Henry Ford Health System, dr Elissa Fory, dilansir melalui New York Times.
Laporan pengamatan serupa juga disampaikan dokter di Italia dan bagian lain dunia. Hal ini berkaitan dengan pasien Covid-19 yang mengalami strok, kejang, gejala seperti ensefalitis dan pembekuan darah, serta kesemutan atau mati rasa di ekstremitas yang disebut acroparesthesia. “Dalam beberapa kasus, pasien mengigau tanpa mengalami demam atau penyakit pernapasan,” ujar dokter rumah sakit di Universitas Brescia, Italia, dr Alessandro Padovani.Dokter spesialis saraf, dr Darma Imran SpS(K) menjelaskan, Covid-19 memiliki gejala awal berupa gangguan saluran napas dan demam. Mereka yang terinfeksi virus corona tipe baru umumnya mengalami demam kemudian sesak napas.
Penderita Covid-19 bisa saja mengalami komplikasi. Percepatan infeksi virus corona bisa melibatkan masalah di ginjal, jantung, dan otak.
"Kalau masalah di otak, orang bisa strok, infeksi atau radang di otak (ensefalitis). Kalau ensefalitis, bisa saja dia kejang-kejang," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id. Pendapat Darma muncul setelah video seorang wanita yang kejang-kejang viral di media sosial. Masyarakat pun bertanya mungkin kejang-kejang tersebut berkaitan dengan corona.
Darma menjelaskan, ada banyak penyebab orang mengalami kejang. Penyebabnya bisa jadi akibat gangguan atau kelainan otak sejak kecil hingga cedera kepala yang kemudian menimbulkan parut di otak hingga kemudian orang mengalami kejang.
Bagaimana membedakan kejang ensefalitis dan kejang lain? Menurutnya, itu tidak mudah dibedakan secara langsung dengan melihat kejangnya saja. Paling tidak, membedakan secara kasar harus berdasarkan dari riwayat.
"Jika sebelumnya seseorang punya riwayat epilepsi, misalnya dia sudah pernah kejang tiga tahun lalu, kemudian sekarang kejang-kejang. Apakah karena Covid-19? Menurut saya, harus dilihat dulu. Kalau sebelum dia kejang ada gangguan sesak atau batuk, mungkin bisa diduga Covid-19," ungkapnya.
Menurut Darma, tidak seharusnya orang yang mengalami kejang membuat masyarakat menjadi ketakutan atau curiga Covid-19 penyebabnya. Apalagi, banyak juga orang kejang sudah ada riwayat sebelumnya.
"Tidak selalu, kejang itu Covid-19. Bisa ditanyakan mungkin ke keluarganya kalau dia tidak bepergian sendirian, apakah sebelumnya ada riwayat kejang atau tidak," kata dokter yang praktik di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta ini.