Selasa 14 Apr 2020 15:02 WIB

Pengamat: Orang Indonesia tak Bisa Diimbau, Harus Dilarang

Apabila mudik tidak dilarang, imbasnya akan terjadi kerusuhan sosial.

Calon penumpang bersiap menaiki bus AKAP di terminal bayangan Pondok Pinang, Jakarta, Jumat (3/4). Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai karakter orang Indonesia sulit diimbau untuk tidak mudik. Apalagi, kegiatan setahun sekali itu sudah menjadi tradisi, sehingga untuk mencegah penyebaran Covid-19 seharusnya mudik dilarang.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Calon penumpang bersiap menaiki bus AKAP di terminal bayangan Pondok Pinang, Jakarta, Jumat (3/4). Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai karakter orang Indonesia sulit diimbau untuk tidak mudik. Apalagi, kegiatan setahun sekali itu sudah menjadi tradisi, sehingga untuk mencegah penyebaran Covid-19 seharusnya mudik dilarang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai karakter orang Indonesia sulit diimbau untuk tidak mudik. Apalagi, kegiatan setahun sekali itu sudah menjadi tradisi sehingga untuk mencegah penyebaran Covid-19 seharusnya mudik dilarang.

“Urusan imbau-mengimbau itu tidak ada di peraturan. Kalau mengimbau tidak perlu diatur, lepas saja. Orang Indonesia harus dikenakan sanksi,” kata Agus dalam konferensi pers melalui video di Jakarta, Selasa (14/4).

Baca Juga

Dia menjelaskan, apabila mudik tidak dilarang, imbasnya ke pemerintah daerah. Hal tersebut bisa menimbulkan kerusuhan sosial (social unrest) apabila pemerintah tidak mengambil tindakan pada saat ini.

“Pemerintah harus mengeluarkan uang, apalagi ada keppres baru. Pemerintah harus segera mengatur,” katanya.

Dalam kesempatan sama, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menilai imbauan ini sifatnya ambigu. Pasalnya, Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 belum mencakup adanya pelarangan mobilitas mudik. Yang ada berupa pembatasan orang-orang berkumpul. Sementara itu, menurut dia, mobilitas menggunakan moda transportasi ini menjadi penyebab prima dalam penyebaran Covid-19.

 “Dari hal-hal kecil, bertemu, bersalaman, kemudian mobilisasi naik transportasi, sarana transportasi, berlama-lama berkerumun, lalu turun di pelabuhan, terminal, bandara, kemudian menyebarkan ke tujuan perjalanan. Ini adalah siklus. Sulit dideteksi penularannya, tetapi itu terjadi,” katanya.

Ia mengatakan, saat ini sudah terbukti penyebaran di daerah-daerah karena adanya pendatang yang masuk, dalam hal ini pemudik yang kembali ke kampung halamannya. “Sesungguhnya kita sudah paham bahwa penularan ini melalui komunikasi, tapi asal-usul itu semua dari mobilisasi transportasi. Jadi, kalau dikatakan media penularan virus corona, kita jangan sampai bersinggungan, bertatap muka, berkerumun, awalnya dari transportasi. Sekarang kan terbukti, memang dari pendatang membawa (virus),” katanya.

Agus menyebutkan, saat ini terdapat 1,3 juta orang yang berpotensi mudik dari Jabodetabek di mana daerah-daerah tujuan di antaranya Jawa Barat 13 persen, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta 41 persen, Jawa Timur 20 persen, dan Lampung serta Sumatra Selatan delapan persen. “Katakan 600 ribu orang saja yang bergerak. Kita tidak bisa membayangkan itu dan kehidupan hari raya, mau dicap sebagai ODP (orang dalam pengawasan) dan sebagainya harus karantina. Kalau nekat, engga takut,” ujarnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement