REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, keputusan penundaan pemungutan suara Pilkada 2020 menjadi 9 Desember 2020 dengan catatan bisa menyesuaikan dengan masa darurat bencana nasional Covid-19, kurang efektif. Sebab, hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Keputusan yang kurang efektif. Karena bisa membuat ketidakpastian hukum kembali terjadi dalam perjalanan implementasinya," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Republika.co.id, Rabu (15/4).
Keputusan penundaan Pilkada 2020 akibat pandemi virus corona itu pun akan berdampak kepada penyelenggara pemilu. Menurut Titi, KPU harus bekerja ekstra mengatur tahapan, program, dan jadwal pilkada di tengah ketidakpastian akibat Covid-19, yang tidak diketahui kapan berakhirnya.
Selain itu, pilihan tersebut tetap memiliki risiko karena mengasumsikan bisa dijalankan dengan catatan atau sepanjang darurat wabah virus corona berakhir. Pemerintah pusat melalui Gugus Tugas Penanganan Covid-19 menetapkan masa tanggap darurat bencana Covid-19 hingga 29 Mei 2020.
Namun, sampai pertengahan April ini, kasus terkonfirmasi atau orang yang terpapar virus corona makin meningkat. Di sisi lain, pemerintah juga belum bisa memastikan pandemi Covid-19 benar-benar berakhir sehingga masyarakat bebas beraktivitas.
Menurut Titi, semestinya jadwal pilkada dipilih durasi waktu yang relatif lebih panjang. Hal demikian dinilai dapat memadai dari sisi persiapan dan tidak berisiko terjadinya penundaan-penundaan kembali ketika skenario terburuk virus corona belum juga berakhir.
"Makanya penundaan pilkada setelah 2021 adalah opsi yang relatif aman dan logis dari sisi waktu, jadwal, dan kesiapan para pemangku kepentingan," kata Titi.