REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo menyatakan tidak akan melakukan pengadaan alat rapid test Covid-19, meskipun stok jatah dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah tinggal belasan unit.
Pemprov Jateng menjatah DKK Solo sebanyak 75 unit rapid test. Sebanyak 57 unit telah digunakan untuk memeriksa orang dalam pemantauan (ODP) yang kontak erat dan kontak dekat dengan pasien terkonfirmasi positif Corona.
Kepala DKK Solo, Siti Wahyuningsih, mengatakan DKK tidak melakukan pengadaan rapid test karena hasil yang belum pasti. Saat hasil rapid test positif, maka ODP tetap harus menjalani uji swab polymerase chain reaction (PCR).
"Hasil rapid test itu tidak bisa digunakan untuk tegakan diagnosa. Begitu positif, harus dilanjutkan PCR lagi. Enggak bisa berhenti. Kalau hanya asal untuk menenangkan masyarakat, enggak bisa begitu karena dana negara ini dipertanggungjawabkan," kata Siti kepada wartawan, Rabu (15/4).
Sedangkan hasil rapid test negatif belum tentu benar-benar negatif Covid-19. Siti menganalogikan, jika rapid test memiliki ambang 50 untuk menunjukkan hasil positif, maka seseorang dengan antibodi 30 tidak akan terdeteksi terpapar virus Corona. Padahal, ada kemungkinan virus Corona sudah berada di dalam tubuh orang tersebut.
"Dia percaya diri karena negatif hasilnya, kemudian berkeliaran kemana-mana dan menularkan. Jadi, kami memilih tidak mengadakan rapid test sendiri," jelasnya.
Meski demikian, DKK Solo tidak akan menolak jika mendapatkan jatah rapid test lagi dari Pemprov Jateng maupun pemerintah pusat.
Siti mengakui, sudah ada pihak yang menawarkan pengadaan rapid test tetapi langsung ditolak. DKK Solo tetap fokus pada uji swab PCR.
Apalagi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah menunjuk laboratorium Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo sebagai laboratorium pemeriksaan Covid-19. "Kalau pengiriman spesimen lebih dekat, harapannya hasil lebih cepat," harapnya.