REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Perselisihan diplomatik antara Prancis dan China semakin melebar di tengah pandemi virus corona. Dalam sidang dengan kementerian luar negeri pada Kamis (16/4) anggota Senat Parlemen Prancis menuntut jawaban mengapa situs kedutaan besar China masih mengunggah artikel yang menyebarkan informasi palsu.
Sebuah artikel berbahasa Prancis yang berjudul Restoring distorted facts - Observations of a Chinese diplomat posted to Paris muncul dalam serangkaian unggahan Kedutaan Besar China yang membela respons Beijing terhadap pandemi virus corona. Tapi di sisi lain, artikel mengkritik cara negara-negara Barat mengatasi wabah ini.
Dalam unggahan tersebut seorang diplomat yang tidak disebutkan namanya menyinggung tentang perawat panti wreda di negara barat yang mengabaikan pekerjaan mereka dan meninggalkan penghuni panti meninggal dunia. Penulisan panti wreda itu menggunakan istilah Prancis EHPAD (Établissement d'Hébergement pour Personnes Agées Dépendantes).
Unggahan Kedutaan Besar China itu muncul tepat satu hari setelah angka kematian virus corona di Prancis meningkat karena memasukan pasien yang meninggal dunia di panti wreda. Diplomat dalam artikel tersebut juga mengatakan sekitar 80 anggota parlemen Prancis menandatangani sebuah pernyataan.
Pernyataan tersebut meremehkan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. Isi artikel menuduh mantan menteri luar negeri Ethiopia itu pro China.
"WHO telah menjadi subjek kepungan sebagian negara-negara Barat. Beberapa di antaranya bahkan melakukan serangan ad-hominem terhadap Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus," kata artikel dalam situs Kedutaan Besar China itu.
Artikel tersebut menyebut pemerintah Taiwan mendukung pernyataan yang ditandatangani 80 anggota parlemen Prancis tersebut. Diplomat yang dikutip artikel itu mengatakan pernyataan tersebut menggunakan kata 'negro' untuk menyerang Tedros. "Saya masih tidak mengerti apa yang telah dipikirkan oleh perwakilan terpilih Prancis ini," kata diplomat itu.
Belum ada bukti para anggota parlemen Prancis mendukung deklarasi semacam itu atau pemerintah Taiwan menggunakan kata hinaan terhadap Tedros. Kementerian Luar Negeri Taiwan mengatakan Kedutaan Besar China membuat berita palsu.
"Cicitan Kedutaan Besar China di Prancis diciptakan tanpa dasar apa pun," kata Kementerian Luar Negeri Taiwan.
Mereka membantah menggunakan hinaan rasial terhadap Tedros dan menuntut permintaan maaf. Sementara Kedutaan Besar China mengunggah respons Juru bicara Kementerian Luar Negeri China.
"Kami berharap tidak ada kesalahpahaman. Pihak China tidak pernah membuat komentar negatif tentang manajemen Prancis dalam menanggulangi pandemi dan tidak ada niatan untuk melakukan itu," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian.
Perselisihan ini membuat Prancis canggung. Pasalnya demi mengisi kelangkaan masker yang terjadi di seluruh negeri, Prancis baru saja memesan 600 juta masker dari China. Saat ini pesanan itu masih menunggu dikirim.
Kantor presiden dan kementerian luar negeri Prancis awalnya berhati-hati dalam merespons artikel tersebut. Tapi setelah keresahan meningkat, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian memanggil Duta Besar China untuk mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap munculnya artikel tersebut sambil menekankan hubungan baik antara kedua negara.
"Dalam menghadapi virus dan konsekuensi ekonominya tidak ada tempat untuk kontroversi," kata Le Drian.
Namun sejumlah anggota parlemen mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap pernyataan Le Drian. Mereka membantah pernyataan yang disebutkan artikel tersebut pernah ada dan meminta apa yang telah dikatakan Le Drian kepada Duta Besar China. Mereka juga mempertanyakan mengapa artikel itu masih ada di situs Kedutaan Besar China.
Le Drian tidak menjawab permintaan para anggota parlemen itu. Ia hanya mengutip juru bicara Kementerian Luar Negeri China.