REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Penjaga pantai Bangladesh mengatakan, pihaknya telah menyelamatkan setidaknya 382 pengungsi Rohingya yang kelaparan. Mereka hanyut di lautan selama hampir dua bulan.
Pejabat mengatakan, puluhan orang meninggal di kapal yang berupaya mencapai Malaysia. "Kami telah menyelamatkan setidaknya 382 orang Rohingya dari kapal pukat ikan yang penuh sesak dan membawa mereka ke pantai dekat Teknaf," kata juru bicara penjaga pantai, Lt Shah Zia Rahman, dikutip BBC, Kamis (16/4).
"Mereka kelaparan. Mereka terdampar selama 58 hari dan selama tujuh hari terakhir (kapal) bergerak di perairan teritorial kita," ujarnya menambahkan.
Sejumlah laporan mengatakan, kapal tersebut ditolak oleh Malaysia karena pandemi virus corona tipe baru. Hingga kini masih diselidiki keberangkatan pengungsi apakah dari Bangladesh atau Myanmar.
Letnan Rahman mengatakan, pihak berwenang langsung meluncurkan tiga hari pencarian untuk kapal itu setelah menerima informasi. Pihaknya menemukan kapal itu pada malam Rabu di lepas pantai tenggara.
Foto-foto di media sosial menujukkan para pengungsi Rohingya di kapal tampak sangat kurus. Kebanyakan dari mereka perempuan dan anak-anak. "Kami telah menutup wilayah dari tempat mereka mendarat. Kami tidak dapat menanyai mereka karena takut mereka dapat terinfeksi virus corona," kata Lt Rahman.
Dalam perkembangan terpisah, lembaga-lembaga bantuan terkemuka meminta Pemerintah Bangladesh dan Myanmar untuk memulihkan akses internet bagi ratusan ribu pengungsi Rohingya. Badan amal, yang meliputi Save the Children, Action Aid, dan International Rescue Committee, mengatakan, akses sangat penting untuk mendapatkan informasi yang menyelamatkan jiwa tentang pandemi.
Pemerintah Bangladesh memblokir akses internet di kamp terbesarnya tahun lalu dengan alasan masalah keamanan. Badan amal itu juga ingin Myanmar memulihkan akses internet seluler ke sembilan komunitas yang dekat dengan perbatasan.
Muslim Rohingya adalah komunitas Muslim terbesar di Myanmar, dengan mayoritas tinggal di Negara Bagian Rakhine. Namun demikian, Pemerintah Myanmar menyangkal mereka sebagai warga negara dan memandang mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Selama beberapa dekade, gelombang pengungsi Rohingya telah meninggalkan Myanmar ke Bangladesh. Namun, eksodus terakhir mereka dimulai setelah penumpasan tentara pada 2017. Penumpasan berdarah oleh militer Myanar menewaskan ribuan Muslim Rohingya dan membuat 700 ribu Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh. Myanmar, negara yang mayoritasnya beragama Buddha, selalu bersikeras bahwa kampanye militernya dilakukan untuk mengatasi ancaman ekstremis di Negara Bagian Rakhine.