REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengaku miris melihat ketergantungan bahan baku obat dan alat kesehatan Indonesia dari luar negeri. Erick menilai, ketergantungan ini menjadi persoalan bagi bangsa ketika terjadi situasi yang tidak biasa, terutama saat pandemi corona.
"Mohon maaf kalau saya bicara ini, sangat menyedihkan kalau negara sebesar Indonesia ini, 90 persen bahan baku dari luar negeri untuk industri obat. Sama juga alat kesehatan, mayoritas dari luar negeri," ujar Erick saat meninjau RS Pertamina Jaya di Jakarta, Kamis (16/4).
Erick menilai sudah saatnya Indonesia serius mendorong ketahanan kesehatan dengan membuat bahan baku obat dan alat kesehatan sendiri. Dengan begitu, menurut Erick, Indonesia tak lantas selalu melakukan impor untuk bahan baku obat dan alat kesehatan.
Mengutip laporan dari majalah the Economist, kata Erick, adanya pandemi corona menjadi kesempatan bagi negara-negara yang memiliki komitmen mengonsolidasi segala kekuatannya untuk menjaga supply chain atau rantai pasok negara tersebut.
"Saya mohon maaf kalau menyinggung beberapa pihak, janganlah negara kita yang besar ini selalu terjebak praktik-praktik yang kotor sehingga alat kesehatan musti impor, bahan baku musti impor," lanjutnya.
Erick mengajak semua pihak komitmen membongkar praktik-praktik kotor tersebut. Erick menilai pada prinsipnya, negara lain tidak akan peduli dengan apa yang menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Erick mengatakan, masyarakat Indonesialah yang harus peduli dengan apa yang menjadi persoalan dan kebutuhan bangsa.
"Jangan semuanya ujung-ujungnya duit terus, akhirnya kita terjebak short term policy, didominasi mafia-mafia trader itu. Kita harus lawan dan Pak jokowi punya keberpihakan itu," katanya.
Erick berupaya mengikis ketergantungan impor bahan baku obat dan alat kesehatan dengan mendorong produksi lokal. Erick menyampaikan, Kementerian BUMN sejak September 2019, sudah mulai melakukan pembahasan dan mencoba membuat cetak biru mewujudkan food security (ketahanan pangan), energy security (ketahanan energi), dan health security (ketahanan kesehatan).
"Kalau hari ini (impor) 10 persen, tahun depan 30 persen, tahun depannya lagi 50 persen. Kita juga tidak antiimpor. Memang ada beberapa yang tidak bisa dilakukan, tapi yang kita bisa lakukan, harus bisa," ucap Erick.
Kementerian BUMN mulai melakukan konsolidasi penguatan ketahanan kesehatan dengan menggabungkan sekira 70 rumah sakit milik BUMN. Hal serupa juga diterapkan pada BUMN-BUMN yang bergerak di bidang farmasi. Konsolidasi RS BUMN saat ini mampu menghasilkan 2.411 kamar yang siap melayani pasien corona.
"Tidak di situ saja, dari (BUMN) farmasi juga kita gabungkan. Yang sedang kita review sekali lagi, bagaimana ini bisa jadi supply chain dengan RS (BUMN) ke depan," ungkap Erick.
Erick menyebut, pandemi corona merupakan sebuah momentum bagi bangsa untuk bergotong-royong. Erick tak menampik besarnya tantangan dalam mewujudkan industri nasional, namun hal itu bukan berarti mustahil dilakukan.
"Saya berharap Kementerian BUMN terus bersinergi dengan kementerian lainnya, kita tidak punya ego sektoral," ungkap Erick.