REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rahayu Subekti, Mimi Kartika, Arif Satrio Nugroho
Pemerintah memberikan sinyal akan melarang total mudik Lebaran pada tahun ini. Namun, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengungkapkan keputusan kebijkan mudik masih dinamis.
"Nanti sore rapat kembali, ada kemungkinan bisa juga larangan mudik dilakukan. Apalagi hari ibur nasional sudah digeser ke akhir tahun," kata Budi dalam konferensi video Jumat (17/4).
Budi menjelaskan Kemenhub masih akan merapatkan kembali kebijkan tersebut bersama Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Jika nantinya mudik dilarang, Budi memastikan dari sestiap sektor perlu mamaparkan skema dari setiap sektor transportasi.
"Kami akan paparkan berapa pergerakan kendaraan umum, pribadi, dan sepeda motor," jelas Budi.
Hanya saja, Budi menegaskan indikator untuk menentukan larangan mudik masih di tangan pemerintah pusat. Sebab, keputusan tersebut menurutnya membutuhkan pertimbangan dari semua aspek termasuk pergerakan jumlah penderita virus korona di Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudataan Muhadjir Effendy pada Kamis (9/4) mengungkapkan pengalihan cuti bersama Idul Fitri menjadi 28-31 Desember 2020. Hal tersebut dilakukan sebagai antisipasi mudik Lebaran untuk mencegah terjadinya penyebaran virus korona.
"Kebijakan ini menindaklanjuti arahan Presiden dalam Ratas Antisipasi Mudik Lebaran pada tanggal 2 April 2020 terkait Imbauan tidak mudik dan penggantian libur Lebaran 2020," kata Muhadjir saat memimpin rapat tingkat menteri terkait Revisi Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2020 di Jakarta.
Survei SMRC
Hasil survei lembaga Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menyatakan, 31 persen warga DKI Jakarta tetap ingin pulang kampung atau mudik Lebaran. Padahal, pemerintah sudah mengimbau masyarakat tidak mudik untuk mencegah penyebaran virus corona.
"Mereka yang ingin mudik ini termasuk juga kalangan yang berpendidikan tinggi dan berpenghasilan tinggi," ujar Peneliti SMRC Sirajuddin Abbas dalam siaran persnya, Jumat (17/4).
SMRC melakukan survei tentang Wabah Covid-19 pada 9-12 April 2020 terhadap 1.200 responden. Responden diwawancarai melalui telepon yang dipilih secara acak, dengan margin of error 2,9 persen.
Sementara secara nasional, persentase warga yang ingin mudik mencapai 11 persen atau setara dengan 20 juta warga dewasa. Selain itu, 12 persen warga Jawa Timur juga tetap ingin mudik di tengah pandemi Covid-19.
Kemudian, warga Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah masing-masing 10 persen juga tetap ingin mudik. Ditambah dengan delapan persen warga Sulawesi Selatan yang ingin tetap mudik.
Dengan demikian, SMRC meminta pemerintah lebih mengedukasi masyarakat terhadap potensi penularan virus corona makin meluas. Pemerintah juga harus tegas atas kegiatan mudik yang saat ini berbahaya di tengah sejumlah daerah berzona merah kasus terpapar virus corona.
"Mengingat masih tingginya minat para perantau untuk mudik, nampaknya masih diperlukan edukasi dan penataan yang lebih tegas terhadap kegiatan mudik terutama dari Jakarta," kata Sirajuddin.
Wabah Covid-19 di Indonesia sendiri, saat ini disebut tengah memasuki fase akselerasi. Kebijakan berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan beberapa wilayah dinilai tak mampu secara optimal membendung penyebaran Covid-19 di fase akselerasi ini.
"Kita masih di fase akselerasi," kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan pada Republika, Kamis (16/4).
Ede mengatakan, berdasarkan pemodelan awal, seharusnya masa akselerasi Covid-19 di Indonesia dapat ditutup menjadi fase puncak di akhir April ini. Namun, terjadi fenomena mudik yang menyebabkan potensi fase akselerasi akan memanjang.
"Puncak berpotensi sangat mundur karena potensi penularan terjadi di mana-mana," kata Ede.
Di fase akselerasi ini, Ede menilai, PSBB yang diberlakukan sedikit - demi sedikit oleh daerah yang mengajukan tidaklah efektif. Seharusnya kata dia PSBB diberlakukan secara nasional oleh seluruh daerah di fase akselerasi ini.
"Kan ekonomi masih boleh di masa ini, itu apa susahnya diperbolehkan PSBB. Kenapa tidak di-declare saja supaya wacana dan nuansa kedaruratan itu terasa. Jadi masyarakat sadar. Secara nasional saja sampaikan," kata dia.
Kapan Indonesia mencapai puncak? Ede menjawab, puncak Covid-19 di Indonesia bergantung pada upaya pemerintah dan masyarkat. Ede menjelaskan puncak Covid-19 terjadi saat mulai terjadi pelambatan jumlah pasien positif hingga akhirnya pertumbuhan kasus baru berhenti.
Setelah fase puncak terlewati, maka akan terjadi penurunan. Selama masa ini, pemerintah harus benar benar memastikan tak ada pasien baru lagi dan hanya ada pasien lama.
"Lama lama sembuh kasus itu hilang," kata dia.