REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Ekonomi China terkontraksi untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade dalam kuartal pertama tahun ini, ketika covid 19 memaksa pabrik dan bisnis tutup. Ekonomi terbesar kedua di dunia ini mengalami kontraksi 6,8 persen, menurut data resmi yang dirilis pada hari Jumat (17/4).
Dampak finansial Covid-19 terhadap ekonomi China akan menjadi perhatian besar bagi negara-negara lain. Padahal, China adalah kekuatan ekonomi sebagai konsumen utama dan penghasil barang dan jasa.
Ini adalah pertama kalinya ekonomi China menyusut dalam tiga bulan pertama tahun ini sejak mulai mencatat angka triwulanan pada 1992. "Kontraksi PDB pada Januari-Maret akan diterjemahkan menjadi kerugian pendapatan permanen, tercermin dalam kebangkrutan di perusahaan kecil dan kehilangan pekerjaan," kata Yue Su di Economist Intelligence Unit, seperti dilansir BBC.
Tahun lalu, China melihat pertumbuhan ekonomi yang sehat sebesar 6,4 persen pada kuartal pertama, periode ketika negara itu terkunci dalam perang dagang dengan AS. Dalam dua dekade terakhir, China telah mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 9 persen per tahun, meskipun para ahli secara teratur mempertanyakan keakuratan data ekonominya.
Perekonomian China terhenti selama tiga bulan pertama tahun ini karena penutupan besar-besaran dan karantina untuk mencegah penyebaran virus pada akhir Januari. Akibatnya, para ekonom memperkirakan angka yang suram, tetapi data resmi sedikit lebih buruk dari yang diharapkan.
Di antara data-data lainnya yang dirilis dalam laporan Jumat, output pabrik turun 1,1 persen untuk Maret karena China perlahan mulai memproduksi lagi. Penjualan ritel anjlok 15,8 persen bulan lalu karena banyak pembeli tinggal di rumah.
Sementara pengangguran mencapai 5,9 persen pada bulan Maret. Jumlah ini sedikit lebih baik dari tertinggi sepanjang masa di Februari sebesar 6,2 persen.