Jumat 17 Apr 2020 15:41 WIB

Sri Mulyani: Kuartal Ketiga, Penentu Situasi Ekonomi 2020

Pemerintah masih menggunakan asumsi dasar pertumbuhan 2,3 persen.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kuartal III menjadi masa-masa paling penting untuk menentukan ekonomi Indonesia sepanjang 2020. Apabila sudah menunjukkan geliat kembali setelah tertekan dampak pandemi Covid-19, maka angka pertumbuhan 2,3 persen masih dapat dicapai. Tapi, apabila tidak, skenario kontraksi menjadi hal yang realistis.
Foto: republika
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kuartal III menjadi masa-masa paling penting untuk menentukan ekonomi Indonesia sepanjang 2020. Apabila sudah menunjukkan geliat kembali setelah tertekan dampak pandemi Covid-19, maka angka pertumbuhan 2,3 persen masih dapat dicapai. Tapi, apabila tidak, skenario kontraksi menjadi hal yang realistis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kuartal III menjadi masa-masa paling penting untuk menentukan ekonomi Indonesia sepanjang 2020. Apabila sudah menunjukkan geliat kembali setelah tertekan dampak pandemi Covid-19, maka angka pertumbuhan 2,3 persen masih dapat dicapai. Tapi, apabila tidak, skenario kontraksi menjadi hal yang realistis.

Sri menjelaskan, proyeksi ekonomi sepanjang 2020 masih sangat dinamis. Situasi ini tidak hanya dialami Indonesia, juga seluruh dunia yang kini harus menghadapi pandemi Covid-19 pada kuartal pertama dan kedua.

Baca Juga

"Yang paling critical adalah kuartal ketiga, akan recovery atau flat. Ini menentukan apakah kita masuk ke skenario berat atau sangat berat," tuturnya dalam konferensi pers APBN KiTa Maret 2020 melalui teleconference, Jumat (17/4).

Sebelumnya, Sri pernah menyebutkan dua skenario pertumbuhan ekonomi yang sudah dipegang pemerintah. Untuk skenario berat, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh positif 2,3 persen sepanjang 2020. Tapi, dalam skenario sangat berat, ekonomi mungkin saja mengalami kontraksi sampai 0,4 persen.

Penentuannya sangat bergantung pada situasi pada kuartal ketiga, ketika dampak dari rangkaian stimulus dan insentif pemerintah diluncurkan kepada masyarakat maupun dunia usaha.

Sri menjelaskan, sampai saat ini, pemerintah masih menggunakan baseline 2,3 persen untuk melakukan berbagai kebijakan. Termasuk dalam membuat Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2021.

Pemerintah juga masih memproyeksikan situasi ekonomi yang positif pada kuartal pertama. Sri memprediksi, pada periode Januari-Maret ini, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 4,5 hingga 4,6 persen. Angka ini cukup bagus untuk menjadi cushion atau penahan shock yang terjadi pada kuartal kedua.

"Kalau ini bisa dijaga, dan kuartal ketiga recovery, maka kita bisa optimistis, baseline 2,3 persen bisa dijaga," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Sri mengatakan, upaya menahan baseline ini tidak hanya dilakukan Kementerian Keuangan melalui APBN. Pemerintah turut menggandeng Bank Indonesia untuk masuk ke pasar  dan relaksasi kredit lewat kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kolaborasi ini diharapkan mampu menahan shock pandemi yang begitu besar.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund) memproyeksikan, ekonomi Indonesia mampu tumbuh 0,5 persen pada 2020. Pertumbuhan ini relatif baik di kawasan Asia, terutama negara berkembang. Thailand yang sama-sama masuk dalam ASEAN-5 diprediksi kontraksi 6,7 persen, sementara Malaysia juga tumbuh negatif hingga 1,7 persen.

Data tersebut disampaikan IMF melalui laporannya bertajuk World Economic Outlook (WEO) April 2020 yang dirilis Selasa (14/4). Dalam laporan itu, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini lebih buruk dibandingkan krisis keuangan 2008-2009, yaitu kontraksi tiga persen. Penyebabnya, pandemi virus corona (Covid-19) yang menekan aktivitas ekonomi di sektor riil maupun keuangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement