REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) sudah memberikan kelonggaran likuiditas hampir Rp 420 triliun hingga saat ini dalam merespons pandemi Covid-19. Hal tersebut untuk menjaga ketersediaan likuiditas di pasar sekaligus memuluskan jalan bagi stimulus fiskal.
Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan keseluruhan quantitative easing tersebut sudah mencapai hampir Rp 420 triliun. Yang terbaru, dengan tambahan kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GMW) bagi perbankan sebesar 200 bps atau dua persen.
"Dengan penurunan GWM 200 bps per 1 Mei nanti, maka akan menambah likuiditas sekitar Rp 102 triliun," katanya dalam briefing pekanan BI, Jumat (17/4).
Langkah untuk memperkuat managemen likuiditas perbankan tersebut juga dilakukan dengan menaikan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps. Dengan kenaikan itu maka jumlah surat berharga SBN yang dimiliki bank akan naik dua persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) masing-masing bank.
Perry menyampaikan SBN ini bisa sewaktu-waktu di-repo di BI untuk menambah likuiditas. Bank juga akan memiliki SBN baru, baik dari penawaran baru maupun lelang. Kebijakan ini secara bersamaan akan meningkatkan penyerapan SBN yang digunakan untuk pembiayaan stimulus fiskal.
"Dengan ini, tiga tujuan terpenuhi, BI dalam pelonggaran likuiditas, Kemenkeu untuk stimulus fiskal dan bank dalam managemen likuiditas," katanya.
Dengan mekanisme tersebut, Perry meyakini pasar akan mampu menyerap surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah untuk membiayai kebutuhan stimulus fiskal. Peran BI sebagai pembeli di pasar perdana akan bisa diminimalisir.
Perry mengatakan jika terlibat dalam penawaran SBN, BI akan dianggap sebagai non competitive bidder. Pembeliannya dibatasi maksimal 25 persen dari total target pemerintah dalam penawaran tersebut.
"Tapi kita sudah sepakat, peran BI sebagai the last resort itu hanya jika diperlukan saja," katanya.