REPUBLIKA.CO.ID, Ada banyak pendapat tentang dari manakah bangsa Arab mengenal tradisi berpuasa. Salah satunya adalah penduduk jazirah Arab mengenal tradisi berpuasa sebulan penuh itu selama penjajahan Nabonidus penguasa Babilon (berkuasa selama 556-539 sebelum Masehi) terhadap wilayah Taima, yang merupakan kawasan di Jazirah Arab.
Menurut al-Qalaqasyandi dalam Nihayat al-Irb fi Ma'rifat Ansab al-Arab, lambat laun, ritual berpuasa menjadi bagian tak terlepaskan dari kebiasaan Arab jahiliyah, meski dengan istilah yang tak sama.
Arab jahiliyah menyebut Ramadhan dengan sebutan natiq yang berarti puasa. Ada juga yang mengistilahkan Ramadhan dengan Ramdha' akibat cuaca panas yang berlangsung selama puasa tersebut.
Imam at-Thabari dalam tafsirnya, menggambarkan bagaimana masyarakat Arab penyembah berhala malaksanakan puasa. Lazimnya puasa pada umumnya, mereka juga menahan makan dan minum serta berhubungan intim, termasuk juga berpuasa dari berbicara apapun.
Al-Maqdisi dalam al-Bud'u wa at-Ta'rikh menambahkan, sebelum Islam datang, selama berpuasa Suku Quraisy juga kerap 'bersemedi' (tahannuts) selama berpuasa.
Demikianlah akar tradisi berpuasa hingga Islam datang menyempurnakan. Meski muncul perbedaan di kalangan ulama, apakah ada kewajiban berpuasa sebelum perintah puasa Ramadhan turun pada tahun ke-2 Hijriyah. Ada dua kutub pendapat.
Menurut kelompok yang pertama, tidak ada kewajiban berpuasa apa pun sebelum perintah puasa Ramadhan turun. Ini adalah pandangan mayoritas ulama dan pendapat yang populer di kalangan Mazhab Syafii. Menurut Imam at-Thabari, tidak ada dalil yang kuat sebagai rujukan bahwa Allah SWT mewajibkan puasa apa pun selain Ramadhan.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan, Allah SWT pernah mewajibkan puasa sebelum Ramadhan, kemudian perintah tersebut dialihkan. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang puasa apakah yang pernah diwajibkan tersebut.
Abu Hanifah, Ahmad, al-Atsram, dan Ibnu Taimiyah berpendapat, puasa yang diwajibakan sebelum Ramadhan ialah puasa Asyura. Mereka menukilkan pernyataan dari Aisyah RA. Menurut Aisyah, puasa Asyura kerap dilakukan Quraisy pada masa jahiliyah, demikian pula Rasulullah.
Kebiasaan itu tetap dipertahankan Rasul selama berada di Madinah dan memerintahkan umat untuk melaksanakannya pula. Tetapi, ketika perintah berpuasa Ramadhan turun, kewajiban itu pun tergantikan. Rasul tak lagi mewajibkan puasa Asyura.
Sementara pendapat yang terakhir menyatakan puasa yang wajib sebelum Ramadhan adalah puasa tiga hari setiap bulan, yaitu tiap tanggal 13, 14, dan 15. Puasa ini menurut Atha', seperti dinukilkan at-Thabari dalam tafsirnya, adalah puasa beberapa hari yang termasuk kebiasaan masyarakat pra-Islam, seperti dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 183.
Ritual puasa yang populer di kalangan masyarakat pra-Islam tersebut disempurnakan saat risalah Islam turun. Perbedaan yang sangat mencolok adalah landasan hukum dan teologis yang mendasari ritual tersebut. Inilah makna dari hadits Rasul yang menyatakan bahwa, kehadirannya di antara risalah terdahulu adalah sebagai penyempurna, ibarat satu buah batu bata yang menyempurnakan bangunan rumah yang besar.