REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*)
Sudah satu bulan kehidupan saya dan mungkin Anda berubah. Satu bulan ini, saya melakukan pekerjaan dari rumah.
Saya hanya keluar rumah ketika belanja kebutuhan hidup. Sisanya, saya melakukan aktivitas seperti nonton film dan olahraga di dalam rumah.
Sosialisasi dan interaksi hanya dilakukan lewat aplikasi-aplikasi percakapan. Kadang, saya melakukan panggilan video dan rapat melalui video.
Ada juga yang hidupnya berubah drastis karena kehilangan pekerjaan atau kehilangan pemasukan. Ada juga yang harus putar otak demi menjaga pemasukan.
Ada juga yang dipaksa untuk beradaptasi dengan teknologi dalam melakukan pekerjaan. Tenaga pengajar seperti guru dan dosen, misalnya. Usulan melakukan pembelajaran daring sudah lama dilakukan, tetapi pandemi Covid-19 yang memaksa mereka benar-benar menerapkannya.
Gagap? Tentu saja. Kita akan gagap pada hal yang tidak terbiasa kita lakukan. Selama ini, dosen hanya menggunakan teknologi untuk berkomunikasi dengan mahasiswa sebatas pada koordinasi. Kali ini, dosen harus menggunakan teknologi untuk menyampaikan mata kuliah.
Pilihan metode pengajaran pun jadi soal. Persoalan utama tentu saja kuota, baik kuota internet dosen maupun mahasiswa. Internet di Indonesia, yang kerap lambat, pun jadi terasa mahal.
Selain soal kuota, pertimbangan kedua adalah soal keterlibatan. Pada kelas fisik, keterlibatan sering kali bisa diabaikan. Tapi, bayangkan kuliah online ketika mahasiswa enggan terlibat. Atau, dengan bangga pamer tidur ketika dosen sedang ceramah melalui aplikasi video siaran.
Alhasil, mengalihkan pertemuan ke tugas menjadi opsi. Banyak mahasiswa mengeluh tugas yang terlalu banyak lantaran dosen mengubah pertemuan jadi tugas.
Problem tidak berhenti sampai di situ. Bagi mahasiswa, mereka mungkin digital native dalam hal teknologi. Mereka terbiasa dengan teknologi.
Tapi, banyak di antara mereka yang anggap teknologi sebatas media sosial yang jadi ruang berkeluh kesah. Teknologi bukanlah hal yang serius, melainkan sebagai pengisi waktu luang.
Namun, perlakuan terhadap grup kelas yang selama ini hanya discroll dan mengabaikan pengumuman tidak bisa dilakukan. Sebab, bisa jadi mahasiswa tak bisa lagi bertanya pada dosen di kelas.
Kegagapan menghadapi pandemi dan segala perubahannya tentu juga menjadi milik pemerintah. Narasi bahwa tidak ada pemerintah yang siap menghadapi wabah ini sudah disampaikan oleh sejumlah pejabat.
Hingga kini, pemerintah juga masih gagap. Pembatasan sosial berskala besar, misalnya, nyaris seperti tidak ada yang dibatasi.
Belum lagi, peraturan pemerintah yang tumpang tindih. Misalnya, soal ojek online ketika peraturan menkes melarang angkut penumpang, peraturan menhub mengizinkan ojek online angkut penumpang.
Alasan kegagapan ini mungkin bisa diduga: kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi. Alasan ini sudah diungkapkan oleh pemerintah sejak Januari ketika wabah ini dimulai di Wuhan, China.
Alasan ini kemudian berlanjut pada Februari ketika Indonesia promosi pariwisata untuk mengambil keuntungan dari negara-negara yang pariwisatanya mulai turun lantaran wabah Covid-19. Alasannya, ketika krisis dan orang lapar, mereka juga bisa mati.
Kegagapan pemerintah ini kadang membuat saya bertanya: bagaimana kalau pembatasan sosial berlangsung lebih lama daripada yang diperkirakan. Apalagi, hasil studi lima peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health yang dipublikasikan hari Selasa (14/4) lalu, menyebutkan bahwa menjaga jarak fisik untuk mencegah Covid-19 mungkin perlu dilakukan hingga 2022.
Peneliti Harvard menilai jika virus ini tidak segera menghilang maka dia akan menjadi virus yang umum. Bahkan, virus corona mungkin akan berulang pada setiap musim dingin, kecuali virus ditemukan.
Pertanyaan lanjutannya, jika berlangsung lebih lama maka bukankah kita perlu menyesuaikan diri? Seperti halnya dosen dan mahasiswa yang berupaya menyelesaikan masalah metode pembelajaran jarak jauh.
Atau, usaha kecil menengah yang mencoba mencari solusi dengan mengubah barang yang dijual agar tetap bisa berproduksi, menghasilkan uang, dan menggaji pekerjanya. Penyesuaian agar ekonomi masyarakat, seperti yang diharapkan pemerintah, bisa terus berjalan.
Sebab, entah kapan wabah ini akan berlangsung. Atau, berapa banyak dana, waktu, dan tenaga untuk bekerja di dapur umur.
Di tengah ketidakpastian, semua industri dan bidang kehidupan mungkin memang harus bisa menyesuaikan diri, dan mencari solusi sehingga yang terdengar bukan hanya kengototan bahwa ekonomi harus berjalan dan perut yang lapar harus terisi. Sebab, jika menunggu wabah selesai maka tidak ada yang tahu kapan ini berakhir. Jika pun berakhir apakah semua akan kembali seperti sebelum wabah merebak ke seluruh dunia.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id