REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebaran Covid-19 yang makin cepat di berbagai negara membuat para ahli mengembangkan dan mendistribusikan tes antibodi untuk virus corona tipe baru. Mereka ingin membuat masyarakat kebal terhadap virus dan dapat kembali ke kehidupan normal.
Ini bukan pertama kalinya ada kebutuhan mendesak untuk tes antibodi. Pada 1980-an, ada krisis yang berbeda yang didatangkan oleh merajalelanya HIV/AIDS. Berbeda dengan virus corona, tes antibodi positif untuk HIV berarti seseorang terbukti terinfeksi virus. Dengan kata lain, tes tersebut dapat digunakan untuk mendiagnosis.
Robert Gallo, salah seorang pendiri dan direktur Institute of Human Virology di Fakultas Kedokteran Universitas Maryland, merupakan salah satu ilmuwan yang menemukan HIV. Dia juga yang mengembangkan tes antibodi pertama untuk virus tersebut. Ketika ditanyakan tentang seberapa perlu tes antibodi corona, Gallo menjelaskan bahwa hal pertama yang harus dilakukan dalam pandemi Covid-19 adalah mengetahui tingkat epidemi. Penyebaran virus harus dipantau untuk mengetahui realitas apa yang sedang terjadi.
Beberapa orang mengatakan, tes banyak manfaatnya. Menurut Gallo, itu mungkin saja benar, tetapi tidak ada yang bisa memastikan bahwa antibodi itu protektif.
"Ada beberapa dugaan bahwa ketika orang punya antibodi maka itu dikaitkan dengan kemampuan membunuh virus dengan titer antibodi yang baik," kata Gallo, seperti dilansir laman NBC News.
Titer adalah pengukuran kadar antibodi dalam darah seseorang. Namun, kondisi itu tidak selalu terjadi. Terkadang antibodi positif dan orang tersebut masih sangat menular.
"Jadi, Anda harus ingat itu," kata Gallo.
Menurut Gallo, keberadaan antibodi tak selalu bermakna. Ada yang dapat menjadi indikator protektif, ada pula yang meskipun tidak begitu umum malah dapat memperburuk keadaan.
"Misalnya, demam berdarah. Kalau Anda sudah pernah kena, memiliki antibodi, dan kemudian terinfeksi lagi, kondisi Anda bisa menjadi lebih buruk," ucap Gallo.
Contoh lainnya melibatkan bayi, yaitu respiratory syncytial virus alias virus yang menyerang pernapasan. Keberadaan antibodi juga dapat memperburuk keadaan.
Di lain sisi, Gallo menjelaskan, pengujian antibodi diperlukan untuk mengetahui konteks epidemi. Tes itu perlu untuk dapat memprediksi apakah antibodi berkorelasi dengan sesuatu yang bermanfaat bagi kesembuhan.
"Ini vital. Beberapa orang mengatakan dalam konferensi pers bahwa itu bukan prioritas tertinggi. Sebaliknya, tidak ada prioritas yang lebih tinggi daripada pengujian antibodi," kata Gallo.
Namun, dalam menghadapi virus corona, bisa jadi ada beberapa reaksi silang dari infeksi keluarga virus corona.Hal itu akan mendatangkan masalah karena tes antibodi dapat menghasilkan positif palsu.
Tentu saja, hal itu ada solusinya. Laboratorium riset akademik dan mungkin juga beberapa perusahaan bisa mengurainya.
"Ini masalah penelitian. Pada akhirnya, apa yang Anda cari dalam virus ini dibandingkan dengan virus corona lainnya adalah protein atau protein yang berbeda atau cukup berbeda sehingga tidak akan ada reaksi silang dengan virus corona lainnya," kata Gallo.
Lalu, apakah ketika orang punya antibodi corona dan hal itu terkonfirmasi dengan persis oleh pemeriksaan laboratorium bisa dipastikan bahwa imunitas terbentuk dan orang tak akan kembali terjangkit? Gallo mengatakan, ia tak sepakat dengan kesimpulan tersebut.
"Kita tak tahu apakah orang terlindungi ketika punya antibodi corona karena belum ada datanya. Ada banyak variasi antibodi. HIV, contohnya, meskipun orang punya antibodi tertentu, mereka masih mungkin terinfeksi," katanya.
Untuk bisa kebal terhadap infeksi berikutnya, menurut Gallo, dibutuhkan antibodi yang sangat spesifik dan jumlah titer yang cukup. Ia pun menentang penarikan kesimpulan yang cenderung menyederhanakan, seolah orang sudah kebal kalau ada antibodi.
"Mengapa kita perlu tes itu? Untuk menjadi alasan agar bisa kembali bekerja? Tentu tidak. Namun, ini panduan untuk membantu memahami epidemi dan melihat ke mana arahnya."