REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Rumah sakit di Jepang mulai menolak orang sakit ketika negara itu berjuang dengan lonjakan infeksi virus corona. Beberapa orang harus melewati berpuluh rumah sakit dan klinik kesehatan untuk mendapatkan perawatan.
Dalam satu kasus baru-baru ini, sebuah ambulans yang membawa seorang pria dengan demam dan kesulitan bernapas ditolak oleh 80 rumah sakit. Dia dipaksa mencari berjam-jam rumah sakit di pusat Kota Tokyo yang akan merawatnya.
Asosiasi Jepang untuk Pengobatan Akut dan Masyarakat Jepang untuk Pengobatan Darurat mengakui kondisi kewalahan terhadap pasien. Banyak ruang gawat darurat rumah sakit menolak untuk merawat pasien termasuk mereka yang menderita stroke, serangan jantung, dan cedera eksternal.
Rumah sakit Jepang tidak memiliki tempat tidur, tenaga medis, atau peralatan yang cukup. Namun, mereka memaksa siapa pun masuk rumah sakit mana pun dengan virus, bahkan mereka yang memiliki gejala ringan, sehingga membuat rumah sakit sesak dan kekurangan tenaga.
"Kita tidak bisa lagi melakukan pengobatan darurat normal," kata dokter darurat Universitas Osaka, Takeshi Shimazu.
Kelompok tersebut menyatakan, runtuhnya penanganan darurat merupakan awal dari runtuhnya tindakan medis secara keseluruhan. Dengan menolak pasien, rumah sakit membebani pusat darurat yang kritis dan jumlahnya terbatas.
Kasus-kasus baru di Tokyo mulai meningkat pada akhir Maret, sehari setelah Olimpiade Tokyo ditunda selama setahun. Mereka meningkat dengan cepat mencapai total 2.595 saat ini. Sebagian besar pasien masih dirawat di rumah sakit, mendorong kapasitas perawatan menuju batasnya.
Menurut Universitas Johns Hopkins, dengan sekitar 10 ribu kasus dan 170 kematian, situasi Jepang tidak separah Kota New York dan Italia. Kota New York telah memiliki lebih dari 10 ribu kematian, sedangkan Italia lebih dari 21 ribu kematian. Namun, ada kekhawatiran wabah di Jepang bisa menjadi jauh lebih buruk.
Jepang pada awalnya terlihat telah mengendalikan wabah Covid-19 dengan mencari kelompok infeksi di tempat-tempat tertentu, biasanya ruang tertutup seperti klub, gimnasium, dan tempat pertemuan. Namun, penyebaran virus melampaui pendekatan ini dan kebanyakan kasus baru tidak dapat dilacak.
Kepala Asosiasi Medis Jepang, Yoshitake Yokokura, menyatakan, pakaian pelindung, masker, dan pelindung wajah yang tidak cukup meningkatkan risiko infeksi bagi pekerja medis. Kondisi ini pun membuat perawatan pasien Covid-19 makin sulit.
Terdapat 931 kasus ambulans ditolak oleh lebih dari lima rumah sakit atau berkeliling selama 20 menit atau untuk mencapai ruang gawat darurat hanya pada Maret. Angka ini naik dari 700 kasus pada bulan Maret tahun lalu.
Pemadam Kebakaran Tokyo melaporkan, dalam 11 hari pertama bulan April, angkanya naik menjadi 830. Pejabat departemen, Hiroshi Tanoue, mengatakan, jumlah kasus meningkat sebagian besar karena dugaan kasus virus corona memerlukan isolasi sampai hasil tes tiba.
Satuan tugas virus pemerintah telah memperingatkan dalam skenario kasus terburuk ketika tidak ada tindakan pencegahan yang diambil, lebih dari 400 ribu orang bisa mati. Hal ini terjadi karena kekurangan ventilator dan peralatan perawatan intensif lainnya.
Perdana Menteri Shinzo Abe mengatakan, pemerintah telah mengamankan 15 ribu ventilator dan mendapatkan dukungan dari Sony maupun Toyota Motor Corp untuk memproduksi lebih banyak. Dukungan ini diharapkan bisa mengisi kekurangan yang sedang berlangsung.
Kepala Masyarakat Obat Perawatan Intensif Jepang, Osamu Nishida, menyatakan, rumah sakit Jepang juga kekurangan ICU. Hanya ada lima per 100 ribu orang di Jepang; dibandingkan dengan sekitar 30 di Jerman, 35 di Amerika Serikat, dan 12 di Italia.
Kondisi ini menjadi gambaran untuk kondisi terburuk, dengan tingkat kematian 10 persen di Italia dibandingkan 1 persen di Jerman. Kondisi ini terjadi sebagian karena kurangnya fasilitas ICU. "Jepang, dengan ICU bahkan tidak sampai setengah dari Italia, diperkirakan akan menghadapi kematian yang terlalu cepat," kata Nishida.