REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (17/4) menegaskan, belum ada bukti terkait seseorang yang menjalani tes serologi memiliki kekebalan terhadap virus Covid-19. Hal ini juga berlaku pada risiko pasien sembuh yang terinfeksi ulang.
"Tes antibodi (serlogi) hanya bisa mengukur tingkat antibodi itu, tetapi itu tidak berarti bahwa seseorang memiliki antibodi kebal (terhadap virus)," kata Dr Maria Van Kerkhove, kepala unit penyakit dan zoonosis WHO, dilansir di CNBC, Sabtu (18/4).
Tes yang disebut serologis atau antibodi, dapat menunjukkan apakah seseorang pernah memiliki Covid 19 di masa lalu, atau asimptomatik dan pulih. Di Amerika Serikat (AS), tes antibodi baru saja mulai diluncurkan.
Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump, merekomendasikan banyak negara untuk melakukan tes antibodi tersebut. Hal ini seiring dengan pencabutan lockdown dan kelonggaran aturan stay at home.
Kerkhove mengatakan, para pejabat WHO menemukan banyak negara menyarankan tes serologi. Tes ini dilakukan untuk menjadi ukuran kekebalan tubuh.
"Gunanya tes ini akan mengukur tingkat antibodi, namun ini adalah tanggapan tubuh satu atau dua pekan kemudian setelah mereka terinfeksi virus ini, dan saat ini kami tidak memiliki bukti bahwa tes serologi dapat menunjukkan seseorang kebal atau terlindungi dari infeksi ulang," katanya pada konferensi pers di kantor pusat WHO di Jenewa.
Direktur Eksekutif Program Kedaruratan WHO, Dr Mike Ryan, mengatakan, para ilmuwan juga masih menentukan waktu pemberian antibodi pada seseorang yang telah terinfeksi virus corona. Sebab, tidak dikethaui pasti antibodi yang diberikan bisa melindungi seseorang dari Covid-19 dan terinfeksi kembali.
"Ditambah, beberapa tes memiliki masalah dengan sensitivitas, mungkin saja ada hasil negatif palsu." tambah Ryan.
Awal pekan ini, para pejabat WHO mengatakan, tidak semua orang yang pulih dari Covid 19 memiliki antibodi untuk melawan infeksi kedua. Hal ini menjadi kekhawatiran karena pasien kemungkinan tidak bisa memproduksi kekebalan tubuh setelah selamat dari covid 19.
"Sehubungan dengan pemulihan dan infeksi ulang, kami tidak memiliki jawaban untuk itu, hal itu masih tidak diketahui," kata Ryan.
Sebelumnya, sebuah studi pasien di Shanghai menemukan bahwa beberapa pasien tidak memiliki respons antibodi yang terdeteksi, sementara yang lain memiliki respons yang sangat tinggi. Hal ini menjadi pertanyaan terkait pasien yang memiliki respons antibodi yang kuat kebal, kemudian terhadap infeksi kedua merupakan pertanyaan terpisah.