Sabtu 18 Apr 2020 17:56 WIB

UU Kewarganegaraan India yang Masih Menjadi Sorotan Dunia

UU Kewarganegaraan India kembali disorot di tengah wabah Covid-19.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nashih Nashrullah
UU Kewarganegaraan India kembali disorot di tengah wabah Covid-19. Bendera India (Ilustrasi).
Foto: IST
UU Kewarganegaraan India kembali disorot di tengah wabah Covid-19. Bendera India (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Amandemen Undang-undang Kewarganegaraan (CAA) yang disebut memecah-belah, diskriminatif dan melawan Muslim serta konstitusi sekuler India masih menimbulkan kecaman, melampaui ekonomi yang buruk dan pandemi Covid 19 yang semakin meningkat.

Menurut UU tersebut, enam minoritas dari tiga negara tetangga memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan India jika mereka telah hidup selama enam tahun di negara tersebut.

Baca Juga

Daftar ini mengecualikan imigran Muslim yang telah memasuki negara dengan cara yang sama seperti imigran non-Muslim lainnya. Ini adalah pertama kalinya India, yang disebut negara sekuler, menggunakan agama sebagai dasar hukum untuk menentukan kebangsaan.

Dilansir di The News, Sabtu (18/4) disebutkan, sekitar 60 orang baru-baru ini meninggal di New Delhi karena undang-undang kontroversial ini, kebanyakan dari mereka adalah Muslim yang sengaja dijadikan sasaran dan properti serta tempat ibadah mereka dibakar. 

Tentang pertumpahan darah di New Delhi, sebuah artikel di NYT bulan lalu menyatakan bahwa India telah mengalami pertumpahan darah sektarian terburuk dalam bertahun-tahun. Ini dipandang banyak orang sebagai hasil yang tak terhindarkan dari ekstremisme Hindu yang berkembang di bawah pemerintahan PM Modi. 

Partainya telah menganut merek nasionalisme Hindu militan dan para pemimpinnya telah secara terbuka memfitnah Muslim India. Dikatakan bahwa dua pertiga dari lebih dari 50 orang yang terbunuh di Delhi adalah Muslim dan aktivis hak asasi manusia menyebut ini sebagai pembantaian terorganisir. 

Komentar Pimpinan Partai Bharatiya Janata, Dr Subramanian Swamy yang menyatakan Muslim bukan warga negara yang setara telah mendapatkan kecaman dari seluruh dunia. Itu adalah cerminan dari kebencian dan ideologi fasis dari negara India terhadap 14 persen Muslim di negara itu. 

Ketika India terus melakukan genosida, menahan dan menggunakan pemerkosaan sebagai senjata untuk memajukan agenda politiknya di Kashmir, India telah memulai kejahatan kebencian yang disponsori negara terhadap Muslim secara keseluruhan.

Para analis secara terbuka bertanya-tanya pada rasionalitas pemimpin BJP Subramanian Swamy, juga seorang anggota parlemen Rajya Sabha, yang melontarkan gagasan menuliskan gambar Dewi Lakshmi pada uang kertas India untuk meningkatkan kinerja mata uang India.

Sebelumnya, pemimpin BJP lainnya Dilip Ghosh menyatakan pemerintah India berkomitmen untuk mengimplementasikan Daftar Nasional India yang diusulkan secara nasional dan akan mengirim kembali 10 juta Muslim Bangladesh yang tinggal di negara bagian Bengal Barat, yang disebut tinggal secara ilegal.

Dia mengatakan bahwa mereka yang menentang CAA adalah anti-India, contoh lain dari India berubah menjadi negara Hindu di mana orang dapat mengatakan Muslim menghadapi tantangan lebih hanya karena menjadi Muslim.

Demikian pula, Vinay Katiyar, anggota Parlemen lain yang mewakili BJP, telah mengeluarkan pernyataan yang kontroversial. "Umat Muslim seharusnya tidak tinggal di negara ini, mereka harus pergi ke Pakistan atau Bangladesh," kata Katiyar.

Milan Vaishnav, pakar India di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan bahwa populasi Muslim di India telah merasa semakin terpinggirkan selama bertahun-tahun karena lanskap politik negara itu dikuasai Hindu.

Mantan Penasihat Keamanan Nasional India, juga mantan Menteri Luar Negeri, Shivshankar Menon, telah memperingatkan Modi Sarkar bahwa India akan menghadapi isolasi diplomatik karena Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan (CAA) 2019 dan Daftar Warga Nasional (NRC). 

"Efek kumulatif dari serangkaian tindakan, termasuk apa yang terjadi di Kashmir. Kita sepertinya tahu kita terisolasi. Menteri Urusan Luar Negeri menghindari pertemuan dengan legislator AS," kata Menon.

Dia mengatakan bahwa opini publik global tentang India telah bergeser, jika seseorang melihat media internasional dan bahkan teman-teman India berbicara dengan sikap meremehkan tentang perkembangan internal di negara tersebut.

Karena itu, CAA adalah pendahulu bagi daftar nasional warga negara yang diyakini akan membuat 200 juta Muslim di India tanpa kewarganegaraan, karena banyak warga miskin India tidak mendapatkan dokumen selama bertahun-tahun yang dapat membuktikan kewarganegaraan mereka. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement