REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian ESDM mencatat kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) kembali membuahkan hasil dengan ditemukannya cadangan migas di tiga lapangan sepanjang kuartal I tahun 2020. Berdasarkan laporan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), penemuan cadangan migas tersebut diperkirakan mencapai 136,5 juta barel setara minyak (BOE).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan, penemuan tersebut terdiri atas satu temuan cadangan minyak oleh Texcal Mahato setelah menyelesaikan pengeboran sumur eksplorasi PB-2 Blok Mahato sebesar 61,8 juta barel minyak. Selanjutnya, ada penemuan yang diperoleh dari Medco E&P dari pengeboran sumur Bronang-2 sebesar 79 miliar kaki kubik gas (BCFG). Penemuan Lapangan Bronang menjadi penunjang pengembangan Lapangan Faroel sehingga produksinya bisa mencapai 10 ribu barel minyak per hari (BOPD).
Terakhir, Pertamina EP (PEP) berhasil menemukan cadangan gas sebesar 333,6 BCFG dari hasil penyelesaian pengerjaan eksplorasi sumur Wolai-002 di Banggai, Sulawesi Tengah. "Saya harap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) segera mengusulkan proposal Plan of Development," kata Dwi, Ahad (19/4).
Secara keseluruhan, sepanjang Kuartal I 2020, perbandingan antara cadangan migas yang ditemukan dengan yang diproduksi (Reserve Replacement Ratio/RRR) di Indonesia mengalami kenaikan dari bulan sebelumnya. Hingga 31 Maret RRR Migas di Indonesia mencapai 47,5 juta barel setara minyak. Kenaikan ini tak lepas dari kontribusi penemuan cadangan Lapangan di Lapangan OPLL West Natuna terutama di bulan Maret sebesar enam persen.
Dwi mengakui, langkah produksi migas dalam setahun ke depan akan lebih sulit mengingat melandainya pergerakan ekonomi dari dampak Pandemi Covid-19. "Ke depan, lifting migas akan semakin tertekan akibat Covid-19 dan rendahnya harga minyak," kata Dwi.
Dengan kondisi ini, SKK Migas dan Kontraktor KKS memperkirakan adanya penurunan dari sisi pendapatan juga. "Outlook gross revenue juga turun dari 32 miliar dolar AS menjadi 19 miliar AS," kata Dwi.
Penurunan gross revenue ini terjadi akibat kondisi harga minyak dan kebijakan perubahan paradigma bahwa sektor migas bukan lagi sebagai sumber pendapatan negara tetapi lebih sebagai penggerak ekonomi.