REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengkritik penangkapan sejumlah aktivis pro-demokrasi di Hong Kong. Ia mengatakan kondisi mereka sangat memprihatinkan.
Sebelumnya, penangkapan dilakukan oleh polisi terhadap 15 aktivis, dengan tuduhan terkait demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Hong Kong mulai Juni 2019. Menurut Pompeo, langkah ini merupakan penegakan hukum yang dipolitisasi dan tidak sejalan dengan nilai-nilai universal kebebasan.
"Penangkapan aktivis pro-demokrasi di Hong Kong sangat memprihatinkan. Penegakan hukum yang dipolitisasi tidak konsisten dengan nilai-nilai universal kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai," kata Pompeo dalam sebuah pernyataan melalui jejaring sosial Twitter pada Ahad (19/4).
Di antara aktivis yang ditangkap adalah Jimmy Lai, yang juga dikenal sebagai pendiri surat kabar Apple Daily. Kemudian ada mantan anggota parlemen Martin Lee, Margaret Ng, Albert Ho, Leung Kwok-hung, Au Nok-hin dan anggota parlemen saat ini Leung Yiu-chung.
Mereka dituduh mengorganisir dan mengambil bagian dalam majelis yang tidak sah pada Agustus dan Oktober 2019. Para tahanan akan didakwa dengan kejahatan terkait dan dijadwalkan untuk sidang pertama pada pertengahan Mei mendatang.
“Akhirnya saya menjadi terdakwa. Bagaimana perasaan saya? Saya sangat lega," ujar Lee dalam pernyataan setelah penangkapan, dilansir The Strait Times, Ahad (19/4).
Lee mengatakan sejak lama begitu banyak anak muda yang baik ditangkap dan didakwa, sementara dirinya tidak. Ia merasa sedih karena hal itu, namun tidak menyesali tindakannya, sekaligus bangga karena banyak anak-anak di Hong Kong yang berjuang untuk menegakkan demokrasi di kota administratif China tersebut.
"Penangkapan tokoh-tokoh pro-demokrasi di Hong Kong hari ini adalah paku lain di peti mati 'satu negara, dua sistem'," kata Sophie Richardson, direktur China di Human Rights Watch.
Richardson mengatakan sulit untuk mengetahui langkah tepat Pemerintah China berikutnya. Tetapi, tampaknya para pejabat Hong Kong akan lebih memungkinkan pelanggaran daripada membela hak-hak rakyat di kota itu.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Hong Kong pada 2019 membuat ribuan orang di kota itu turun ke jalan dan terkadang terdapat bentrokan dengan pihak berwenang. Para peserta unjuk rasa menentang Rancangan Undang-undang (UU) yang memungkinkan tersangka dalam suatu kejahatan diekstradisi ke wilayah China daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikendalikan oleh pemerintah pusat China.
Aksi ini kemudian terus meluas, dengan seruan para demonstran yang menuntut demonstrasi sepenuhnya bisa ditegakkan. Situasi ini menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut.
Banyak masyarakat Hong Kong yang khawatir bahwa pemerintah pusat China pada akhirnya akan memiliki campur tangan penuh atas hak asasi mereka. Aksi protes yang berlangsung telah memukul perekonomian di kota yang terkenal sebagai pusat bisnis Asia Timur itu, hingga sempat dinyatakan berada di ambang resesi terburuk dalam satu dekade.