REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada bulan suci Ramadhan tahun kedelapan hijriah, Rasulullah Muhammad SAW mulai memimpin kaum Muslimin dari Madinah menuju Makkah. Beliau hendak membebaskan kota kelahirannya itu dari cengkeraman kemusyrikan. Ya, inilah momen pembebasan Makkah (fathu Makkah).
Ketika Rasulullah SAW memasuki Ka'bah, dilihatnya dinding-dinding Ka'bah begitu penuh dengan lukisan dan gambar. Beliau memerintahkan supaya gambar dan lukisan itu
dihancurkan. Demikian pula dengan berhala-berhala di sekeliling Ka'bah yang selama ini dipuja-puja kaum musyrikin Quraisy.
Dengan tongkat di tangannya, beliau menunjuk berhala-berhala itu seraya berkata: "Dan katakanlah: 'Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap." Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap'" (QS Al-Israa': 81).
Berhala-berhala itu kemudian dihancurkan. Dengan demikian, Rumah Suci itu dapat dibersihkan.
Pihak Anshar dari Madinah menyaksikan semua kejadian itu. Mereka melihat Rasulullah SAW berdoa di atas gunung Shafa. Terbayang oleh mereka sekarang kesedihan: beliau pasti akan meninggalkan Madinah dan kembali ke kota kelahirannya yang kini telah dibukakan oleh Allah SWT. Mereka bahkan berkata satu sama lain, "Menurut kalian, Rasulullah akan menetap di negerinya sendiri?"
Setelah selesai berdoa Rasulullah SAW lantas berseru kepada kaum Anshar, "Berlindunglah kepada Allah! Hidup dan matiku akan bersama kalian."
Mendengar seruan itu, hilanglah kesedihan dari wajah kaum Anshar. Sebab, Rasulullah SAW tetap kembali ke tengah mereka.
Inilah teladan dari beliau shalallahu 'alaihi wasallam. Yakni, keteguhannya dalam memegang janji pada Baiat Aqabah. Begitu pula, besarnya kesetiaan beliau kepada sahabat-sahabatnya yang seiring-sepenanggungan di kala menderita.
Azan penanda
Setelah berhala-berhala itu dibersihkan dari Ka'bah, Nabi SAW lantas menyuruh Bilal bin Rabah untuk menyerukan azan dari atas Ka'bah. Inilah tandanya kemenangan dan tegaknya kalimat Laa Ilaaha Illa Allah. Kekalahan bagi kemusyrikan!
Kaum Muslimin lalu mendirikan shalat bersama, dengan Rasulullah SAW sebagai imam.
Setelah memasuki Makkah pun Rasulullah mengeluarkan perintah jangan sampai ada pertumpahan darah dan jangan ada seorang pun yang dibunuh.
"Wahai manusia sekalian," seru Nabi SAW, "Allah telah menjadikan Makkah ini tanah suci sejak Ia menciptakan langit dan bumi. Ia suci sejak pertama, kedua dan ketiga, sampai hari kiamat."
"Oleh karena itu," lanjut beliau, "Orang yang beriman kepada Allah dan kepada Hari Kemudian tidak dibenarkan mengadakan pertumpahan darah atau menebang pohon di tempat ini. Tidak dibenarkan kepada siapa pun sebelum aku, dan tidak dibenarkan kepada siapa pun sesudah aku ini. Juga aku pun tidak dibenarkan marah kepada penghuni daerah ini hanya untuk saat ini saja, kemudian ia kembali dihormati seperti sebelum itu. Hendaklah kamu yang hadir ini memberitahukan kepada yang tidak hadir. Kalau ada orang yang mengatakan kepadamu bahwa Rasulullah telah berperang di tempat ini, katakanlah bahwa Allah telah membolehkan hal itu kepada Rasul-Nya, tapi tidak kepada kamu sekalian."
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, hendaknya menghancurkan setiap berhala dalam rumahnya," seru orang-orang.
Islamnya penduduk
Sejak fathu Makkah itu, banyak penduduk setempat yang tadinya musyrik menjadi Muslim. Apalagi, mereka sendiri menyaksikan betapa Nabi SAW datang bukan sebagai tiran penakluk, melainkan sungguh-sungguh membebaskan mereka dari kehinaan. Maka, berbondong-bondonglah manusia memeluk Islam.
Rasulullah SAW tinggal di Makkah selama 15 hari. Selama itu pula, beliau membangun Makkah, mengajari penduduk setempat hukum-hukum agama.
Selama itu pula, regu-regu dakwah dikirimkan untuk mengajarkan Islam, bukan untuk berperang. Mereka juga dikirim untuk menghancurkan berhala-berhala tanpa pertumpahan darah.
Dalam waktu dua pekan selama beliau tinggal di Makkah, semua jejak paganisme dapat dibersihkan. Jabatan dalam Rumah Suci yang sudah pindah kepada Islam pada waktu itu ialah kunci Ka'bah, yang oleh Nabi diserahkan kepada Utsman bin Talhah. Dan sesudah itu kepada anak-anaknya, yang tidak boleh berpindah tangan. Sedang pengurusan air Zamzam pada musim haji berada di tangan pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib.
Dengan demikian, seluruh Makkah sudah beriman, panji dan menara tauhid sudah menjulang tinggi. Dan selama berabad-abad, dunia sudah pula disinari cahayanya yang berkilauan.